Penghapus Dosa Dari As-Sunnah as-Shahiihah (19) Memandikan, mengkafani, dan menshalati mayat

 

Dengannya dosa-dosa dihapus, dan kebaikan-kebaikan dilipat gandakan.

 

77-1. Mengetahui keutamaan dan pahala yang besar bagi orang yang mengurusi pemandian jenazah muslim, lalu menutupi perkara yang tidak disukai, mengikhlashkan yang demikian demi mencari wajah Allah radhiyallaahu ‘anhu, dengannya tidak menginginkan balasan, tidak juga ucapan terima kasih, kecuali dari Allah radhiyallaahu ‘anhu, serta tidak menginginkan sedikitpun bagian dari perkara-perkara dunia.

 

Berdasarkan hadits Abu Rafi’ radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«مَنْ غَسَّلَ مُسْلِمًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ، غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِينَ مَرَّةً، وَمَنْ حَفَرَ لَهُ فَأَجَنَّهُ أُجْرِيَ عَلَيْهِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِيَّاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ كَفَنَّهُ كَسَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سُنْدُسِ وَإِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ»

 

“Barangsiapa memandikan seorang muslim, kemudian dia menutupi (aib) yang ada padanya, Allah akan memberikan ampunan kepadanya sebanyak empat puluh kali; barangsiapa menggali kubur untuknya, kemudian memakamkannya, maka dialirkan kepadanya seperti pahala tempat tinggal yang dia tempati hingga hari kiamat; barangsiapa mengkafaninya, maka Allah akan memberikan pakaian kepadanya pada hari kiamat dari sutra tipis dan sutera tebal sorga.”([1])

 

Ini adalah lafazh al-Baihaqiy, sementara lafazh al-Hakim,

 

«مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِينَ مَرَّةً، وَمَنْ كَفَّنَ مَيِّتًا كَسَاهُ اللهُ مِنَ السُّنْدُسِ، وَإِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ حَفَرَ لِمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيهِ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أُسْكِنَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ»

 

“Barangsiapa memandikan satu jenazah, lalu dia menutupi (aib) yang ada padanya, maka diampunilah dia sebanyak empat puluh kali; dan barangsiapa mengkafani jenazah, maka Allah akan mengenakan pakaian padanya dari sutra tipis dan sutra tebal sorga; dan barangsiapa menggali kuburan untuk jenazah, lalu dia memakamkannya, maka dialirkanlah untuknya bagian dari pahala seperti upah tempat tinggal yang ditempati hingga hari kiamat.”([2])

 

Sementara lafazh at-Thabraniy dalam al-Mu’jam al-Kabiir,

 

«مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا، فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِينَ كَبِيرَةً، وَمَنْ حَفَرَ لأَخِيهِ قَبْرًا حَتَّى يَجُنَّهُ فَكَأَنَّمَا أَسْكَنَهُ مَسْكَنًا مَرَّةً حَتَّى يُبْعَثَ…»

 

“Barangsiapa memandikan jenazah, lalu dia menutupi (aib) yang ada padanya, diampunilah baginya sebanyak empat puluh dosa besar; barangsiapa menggalikan kuburan untuk saudaranya hingga dia memakamkannya, maka seakan-akan dia telah menempatkannya pada satu tempat tinggal sekali hingga dia dibangkitkan…”([3])

 

78-2. Dan berdasarkan sabda Nabi ,

 

«وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ …»

 

“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat; dan Allah akan menolong seorang hamba, selagi hamba itu menolong saudaranya…”([4])

 

79-3. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dan di dalamnya disebutkan,

 

«ومَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

 

‘Dan barangsiapa berada pada hajat saudaranya, maka Allah ada pada hajatnya; barangsiapa memberikan jalan keluar kepada seorang muslim dari satu kesulitan, maka Allah akan berikan jalan keluar kepadanya dari satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat; dan barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat.”([5])

 

Dan dalil-dalil serta atsar-atsar lain yang datang([6]), dan tidak mengapa memberitakan apa yang disaksikan oleh orang yang memandikan, berupa tanda-tanda kebaikan; seperti putihnya wajah, tersenyum atau tanda-tanda yang memberitakan berita kebaikan selainnya. Adapun tanda-tanda yang menunjukkan keburukan, maka tidak boleh diberitakan. Dikarenakan yang demikian itu akan membuat keluar si mayit bersedih dan menyakiti mereka, dan ia termasuk ghibah. Akan tetapi seandainya dia berkata, ‘Sesungguhnya sebagian jenazah menjadi hitam, atau selainnya, maka tidak masalah.’([7])

 

Imam Ibnu Qudamah rohimahullah berkata, ‘Dan jika dia melihat kebaikan, seperti tanda-tanda kebaikan berupa bercahayanya wajah, tersenyum, dan semacamnya, maka disunnahkan menampakkannya, agar banyak orang yang mendo’akan rahmat baginya, dan agar teraih imbauan untuk meniti semisal jalan si mayit, dan meniru kebaikan perjalanan hidup si mayit…”([8])

 

 80-4. Keutamaan yang besar bagi orang yang mengikuti jenazah seorang muslim dan menshalatinya, serta bersamanya hingga dia dimakamkan.

 

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«مَنْ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا، وَيَفْرُغَ مِنْ دَفْنِهَا، فَإِنَّه يَرْجِعُ مِنْ الْأَجْرِ بِقِيرَاطَيْنِ، كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ قَبْلَ أَنْ تُدْفَنَ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِقِيرَاطٍ»

 

“Barangsiapa mengikuti jenazah seorang muslim karena iman dan mencari pahala, dan dia bersama dengannya hingga jenazah di shalati, dan selesai dari menguburkannya, maka sesungguhnya dia akan kembali dengan membawa pahala dua qirath; masing-masing qirath adalah seperti gunung Uhud; dan barangsiapa menshalatinya, kemudian dia pulang sebelum dikuburkan, maka sesungguhnya dia pulang dengan membawa pahala satu qirath.”([9])

 

81-4. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu, bahwa dia pernah duduk di sisi ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, tiba-tiba muncullah Khabbab si pemilik al-Maqshurah seraya berkata, ‘Wahai ‘Abdullah bin ‘Umar, tidakkah Engkau mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah? Sesunguhnya dia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ»

 

“Barangsiapa keluar bersama jenazah dari rumahnya, dan telah menshalatinya, kemudian dia mengikutinya hingga jenazah dimakamkan, maka ada pahala dua qirath baginya; masing-masing qirath seperti gunung Uhud, dan barangsiapa menshalatinya, kemudian dia pulang, maka ada pahala baginya seperti gunung Uhud.”

 

Maka Ibnu ‘Umarpun mengutus Khabbab kepada ‘Aisyah untuk bertanya kepadanya tentang ucapan Abu Hurairah, kemudian kembali kepadanya dan memberitakannya apa yang telah ‘Aisyah katakan. Ibnu ‘Umar mengambil segenggam kerikil masjid, lalu dia bolak balikkan di tangannya hingga utusannya kembali kepadanya seraya berkata, ‘’Aisyah berkata, ‘Abu Hurairah benar.’ Maka Ibnu ‘Umarpun memukulkan kerikil yang ada di tangannya pada tanah kemudian berkata, ‘Sungguh kita telah kehilangan banyak qirath.’

 

Dan dalam satu lafazh; dikatakan kepada Ibnu ‘Umar, ‘Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ‘Aku penah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«مَنْ تَبِعَ جَنَازَةً فَلَهُ قِيْرَاطٌ مِنَ الْأَجْرِ»

 

“Barangsiapa mengikuti jenazah, maka baginya satu qirath pahala.”

 

Maka berkatalah Ibnu ‘Umar, ‘Abu Hurairah telah membuat banyak pahala tersebut bagi kita.’ Lalu dia mengutus utusan kepada ‘Aisyah untuk bertanya kepadanya, lalu ‘Aisyah membenarkan Abu Hurairah, lantas Ibnu ‘Umar berkata, ‘Sungguh kita telah kehilangan banyak qirath.’([10])

 

Guru kami, Syaikh Ibnu Baaz rohimahullah pernah ditanya tentang orang yang menshalati lima jenazah, maka apakah baginya untuk masing-masing satu qirath? Maka beliau menjawab, ‘Kita berharap bagi pahala qirath-qirath sesuai dengan jumlah jenazah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,

 

«مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ»

 

“Barangsiapa menshalati jenazah, maka baginya satu qirath, dan barangsiapa mengikutinya hingga dia dimakamkan, maka baginya dua qirath.”([11])

 

Dan hadits-hadits yang datang dengan makna tersebut, dan semuanya menunjukkan bahwa qirath-qirath tersebut berbilang dengan bilangan jenazah… dan ini adalah termasuk bagian dari karunia, kedermawanan, dan kemuliaan Allah ﷻ terhadap hamba-hamba-Nya. Maka bagi-Nya lah segala puji dan syukur, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidak ada Tuhan selain-Nya, dan Allah-lah sang Pemberi taufik.”([12])

 

Guru kami, Syaikh bin Baz rohimahullah ditanya tentang hukum safar melakukan perjalan untuk menshalati mayit, maka beliau berkata, ‘Tidak masalah dalam yang demikian.”([13])

 

82-5. Menshalati jenazah, dosa-sanya akan diampuni, syafaat saudara-saudaranya untuknya akan diterima.

 

Berdasarkan hadits ‘Aisyah rodhiyallaahu ‘anha, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ﷺ bersabda,

 

«مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ»

 

“Tidak ada di antara satu jenazah pun yang dishalati oleh satu ummat dari kaum muslimin jumlah mereka mencapai seratus orang yang masing-masing memberikan syafaat untuknya, melainkan diberikan untuk mereka syafaat mereka padanya.”([14])

 

83-6. Dan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ»

 

“Tidak ada di antara seorang muslimpun yang meninggal, lalu berdiri menshalati jenazahnya empah puluh orang laki-laki yang mereka tidak mensekutukan Allah dengan sesuatupun, melainkan Allah akan berikan syafaat mereka padanya.”([15])

 

Para ulama telah menggabungkan antara hadits seratus dan empat puluh. Saya pernah mendengar guru kami, Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahullah berkata, ‘Para ulama telah melakukan jam’ antara hadits seratus dan hadits empat puluh; sesungguhnya hadits seratus adalah hadits yang pertama, kemudian Allah ﷻ memberikan karunia, dan menjadikan empat puluh menduduki kedudukan seratus di dalam penerimaan syafaat. Dan pada masing-masing keadaan, kedua hadits tersebut menunjukkan akan disunnahkannya memperbanyak jama’ah terhadap jenazah.”([16])

 

(Diambil dari kitab Mukaffiraatu adz-Dzunuubi wal Khathaayaa Wa Asbaabul Maghfirati Minal Kitaabi Was Sunnah oleh DR. Sa’id bin ‘Aliy bin Wahf al-Qahthaniy, alih bahasa oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

_____________________________________

Footnote:

([1]) Al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubra (3/395), al-Hakim (1/354), at-Thabraniy dalam al-Kabiir (1/315) no. 929. Al-Hakim berkata, ‘Shahiih menurut syarat Muslim.’ Dan disetujui oleh adz-Dzahabiy. Al-‘Allaamah al-Albaniy rahimahullah berkata di dalam al-Janaa-iz hal. 69, ‘Ia sebagaimana mereka berdua katakan.’ Al-Haitsamiy berkata di dalam Majma’ az-Zawaa-id (3/21), ‘Para perawinya adalah perawi tsiqah.’ Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam ad-Diraayah (140), ‘Sanadnya kuat.’ Saya katakan, ‘Ia memiliki penguat dari hadits Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu pada riwayat at-Thabraniy dalam al-Kabiir, no. 8977, dan 8078.

([2]) Al-Mustadrak (1/362) no. 1338.

([3]) Al-Mu’jam al-Kabiir (1/315) no. 929.

([4]) Muslim, Kitaab adz-Dzikr wa ad-Du’aa, Bab Keutamaan Berkumpul Diatas Pembacaan Al-Qur`an Dan Dzikir, no. 2699 dari hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

([5]) Muttafaqun ‘alaih, al-Bukhari, Kitaab al-Mazhaalim, Bab Seorang Muslim Tidak Akan Menzhalimi Muslim Yang Lain Dan Tidak Akan Menyerahkannya Kepada Musuh, no. 2442; Muslim dalam Kitaab al-Birri wa as-Shilah, Bab Pengharaman Kezhaliman, no. 2580.

([6]) Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah J secara marfu’,

«مَنْ غَسَلَ مَيِّتاً فَأَدَّى فِيْهِ الْأَمَانَةَ وَلَمْ يُفْشِ عَلَيْهِ مَا يَكُوْنُ مِنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ» .قال: «لِيَلِهِ أَقْرَبُكُمْ مِنْهُ إِنْ كَانَ يُعْلَمُ، فَإِنْ كَانَ لَا يُعْلَمُ، فَمَنْ تَرَوْنَ أَنَّ عِنْدَهُ حَظّاً مِنْ وَرَعٍ وَأَمَانَةٍ»

“Barangsiapa memandikan jenazah, lalu dia tunaikan padanya amanah; dan tidak dia singkap apa yang ada darinya (jenazah) saat itu, maka keluarlah dosa-dosanya seperti hari ibunya melahirkannya.” Beliau bersabda, ‘Hendaknya yang mengurusinya adalah orang yang paling dekat kepadanya diantara kalian jika ia diketahui, jika tidak diketahui, maka orang yang mengurusinya adalah orang yang kalian pandang padanya ada bagian sifat wira’iy dan amanah.” Ahmad di dalam al-Musnad (41/374) no. 24881, 24910, dan selainnya, didha’ifkan oleh para pemilik ensiklopedi Musnad Imam Ahmad, 41/375. Disebutkan oleh al-Haitsamiy dalam Majma’ az-Zawaa-id (3/21) dan dia berkata, ‘Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Thabraniy dalam al-Ausath, dan di dalamnya terdapat Jabir al-Ju’fiy, dan padanya terdapat pembicaraan yang banyak.”

([7]) Lihat Majmu’ Fataawaa Ibni Baaz, 13/123.

([8]) Al-Mughniy milik Ibnu Qudamah, 3/371, dan lihat al-Kaafiy milik Ibnu Qudamah, 2/15.

([9]) Muttafaqun ‘alaih, al-Bukhari, Kitaab al-Iimaan, Bab Mengikuti Jenazah Adalah Bagian Dari Iman, no. 47, dan Kitaab al-Janaa-iz, Bab Keutamaan Mengikuti Jenazah, no. 1323 dan Bab Barangsiapa Menunggu Jenazah Hingga Dikebumikan, no. 1325; Muslim, Kitaab al-Janaa-iz, Bab Keutamaan Shalat Jenazah Dan Mengikutinya, no. 945.

([10]) Muttafaqun ‘alaih, al-Bukhari, Kitaab al-Janaa-iz, Bab Keutamaan Mengikuti Jenazah, no. 1323, 1324; Muslim, Kitab Al-Janaa-iz, Bab Keutaman Menshalat Jenazah Dan Mengikutinya, no. 56-(945).

([11]) Telah berlalu takhrijnya pada yang sebelumnya.

([12]) Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz, 13/136-137.

([13]) Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz, 13/138.

([14]) Muslim, Kitaab Al-Janaa`iz, Bab Barangsiapa Dishalati Oleh Seratus Orang, Maka Mereka Diberikan Syafaat Untuknya, no. 947.

([15]) Muslim, Kitaab Al-Janaa`iz, Bab Barangsiapa Dishalati Oleh Seratus Orang, Maka Mereka Diberikan Syafaat Untuknya, no. 948.

([16]) Saya mendengar di tengah penjelasan beliau terhadap Bulughul Maram, hadits no. 580, kemudian beliau rahimahullah berkata di tengah penjelasan beliau terhadap hadits ini, ‘Dan di dalam hadits Malik bin Hubairah pada riwayat Abu Dawud (3166), at-Tirmidzi (1028), Ibnu Majah (1490) dengan sanad di dalamnya terdapat Ibnu Ishaq, dan dia telah melakukan ‘an-‘an bahwa Nabi ﷺ bersabda,

«مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ أَوْجَبَ»

“Tidak ada di antara satu jenazahpun yang meninggal, lalu dishalati oleh tiga shaf dari kalangan kaum muslimin, melainkan wajib.” Yaitu wajib baginya sorga.

Dan adalah Malik [bin Hubairah], jika manusia sedikit, maka beliau membagi mereka menjadi tiga shaf.

Dan hadits tersebut adalah jayyid seandainya bukan karana ‘an-‘anahnya Ibnu Ishaq. Maka jika dia jelas terang dengan mendengar di dalam riwayat, maka sanadnya menjadi kokoh, akan tetapi aku belum menemukan bahwa dia jelas terang mendengar. Al-Albaniy berkata di dalam al-Janaa-iz hal. 128, ‘Dan berkata at-Tirmidzi, dan diikuti oleh an-Nawawiy di dalam al-Majmu’ 5/212, ‘Hadits hasan, dan diakui oleh al-Hafizh di dalam al-Fath.’ Kemudian al-Albaniy berkata, ‘Dan di dalamnya, pada sisi mereka semua, terdapat Muhammad bin Ishaq, dan ia adalah orang yang hasan haditsnya jika dia menjelaskan dengan terang dengan tahdiits (lafazh haddatsana), akan tetapi disini dia telah melakukan ‘an-‘an, maka aku tidak tahu sisi peng­hasanan mereka terhadap hadits tersebut.”

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *