Keyakinan Suara Wanita Adalah Aurat

 

  1. Keyakinan bahwa suara wanita adalah aurat. Ini adalah keyakinan salah. Dimana terdapat dalil-dalil yang menyelisihinya.

 

Diantaranya adalah, hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari Muslim dari hadits Muhammad bin Sa’d, dari bapaknya, dia berkata,

 

اسْتَأْذَنَ عُمَرُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ نِسَاءٌ مِنْ قُرَيْشٍ يُكَلِّمْنَهُ وَيَسْتَكْثِرْنَهُ، عَالِيَةً أَصْوَاتُهُنَّ، فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُمَرُ قُمْنَ يَبْتَدِرْنَ الحِجَابَ، فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضْحَكُ، فَقَالَ عُمَرُ: أَضْحَكَ اللهُ سِنَّكَ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «عَجِبْتُ مِنْ هَؤُلاَءِ اللَّاتِي كُنَّ عِنْدِي، فَلَمَّا سَمِعْنَ صَوْتَكَ ابْتَدَرْنَ الحِجَابَ» قَالَ عُمَرُ: فَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ كُنْتَ أَحَقَّ أَنْ يَهَبْنَ، ثُمَّ قَالَ: أَيْ عَدُوَّاتِ أَنْفُسِهِنَّ، أَتَهَبْنَنِي وَلاَ تَهَبْنَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قُلْنَ: نَعَمْ، أَنْتَ أَفَظُّ وَأَغْلَظُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطُّ سَالِكًا فَجًّا إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ»

 

“Umar meminta ijin kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk, sementara di sisi beliau terdapat kaum wanita Quraisy tengah berbicara kepada beliau dan banyak meminta kepada beliau sambil mengangkat suara-suara mereka. Maka tatkala ‘Umar meminta idzin, merekapun berdiri dan bersegera rebutan sembunyi dibalik tabir. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengidzinkannya, sementara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Lalu Umar berkata, ‘Mudah-mudahan Allah selalu menambahkan kebahagiaan kepada Anda Ya Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Aku heran dengan para wanita tersebut, yang tadi bersamaku. Tatkala mereka mendengar suaramu, mereka bersegera rebutan tabir.’ Umar berkata, ‘Anda wahai Rasulullah, Anda lebih berhak untuk mereka segan kepada Anda.’ Kemudian dia berkata, ‘Hai para wanita musuh-musuh diri mereka sendiri, apakah kalian segan kepadaku, dan tidak segan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Mereka menjawab, ‘Ya, Engkau lebih keras dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, tidaklah syetan menjumpaimu sama sekali tengah berjalan di salah satu lorong jalan, melainkan dia akan meniti jalan lain selain jalanmu.”([1])

 

 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari jawaban mereka kepada ‘Umar. Seandainya suara mereka adalah aurat, maka pastilah Nabi akan mengingkarinya.

 

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan selainnya dengan sanad hasan, dari Asma` binti Yazid, dia berkata,

 

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى النِّسَاءِ فِي جَانِبِ الْمَسْجِدِ فَإِذَا أَنَا مَعَهُنَّ فَسَمِعَ أَصْوَاتَهُنَّ فَقَالَ: «يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ إِنَّكُنَّ أَكْثَرُ حَطَبِ جَهَنَّمَ». فَنَادَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ جَرِيئَةً عَلَى كَلَامِهِ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ؟ قَالَ: ” لِإِنَّكُنَّ إِذَا أُعْطِيتُنَّ لَمْ تَشْكُرْنَ، وَإِذَا ابْتُلِيتُنَّ لَمْ تَصْبِرْنَ، وَإِذَا أُمْسِكَ عَلَيْكُنَّ شَكَوْتُنَّ وَإِيَّاكُنَّ وَكَفْرَ الْمُنَعَّمِينَ ” فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا كُفْرُ الْمُنَعَّمِينَ؟ قَالَ: « الْمَرْأَةُ تَكُونُ عِنْدَ الرَّجُلِ، وَقَدْ وَلَدَتْ لَهُ الْوَلَدَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ فَتَقُولُ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ».

 

“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju kaum wanita di sisi masjid. Dan ternyata aku bersama dengan mereka, lalu beliau mendengar suara-suara mereka. Lantas beliau bersabda, “Wahai sekalian kaum wanita, sesungguhnya kalian adalah mayoritas kayu bakar Neraka Jahannam.” Lalu akupun menyeru kepada Rasulullah, sementara aku adalah wanita yang berani untuk berbicara kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu saya berkata, ‘Ya Rasulullah, mengapa?’ Beliau bersabda, ‘Dikarenakan sesungguhnya kalian, jika kalian diberi, kalian tidak bersyukur, jika kalian diberi cobaan, kalian tidak bersabar, jika kalian ditahan (tidak diberi), maka kalian mengadu, dan waspadalah kalian dari mengkufuri orang-orang yang memberikan nikmat.’ Lalu saya kataka, ‘Wahai Rasulullah, apakah itu kufur kepada orang-orang memberikan nikmat?’ Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seorang wanita berada di sisi seorang laki-laki, ia telah melahirkan dua atau tiga anak untuk suaminya, lalu ia berkata kepada suaminya, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan darimu sama sekali.’([2])

 

Demikian juga hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Hadits Ummi Hani` radhiyallaahu ‘anha, dia berkata,

 

ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الفَتْحِ، فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ، قَالَتْ: فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «مَنْ هَذِهِ»، فَقُلْتُ: أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ: «مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ»،

 

“Aku pergi kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukkan kota Makkah, maka saya temukan beliau sedang mandi, sementara Fathimah, putri beliau menutupi beliau. Dia berkata, ‘Maka sayapun mengucapkan salam kepada beliau.’ Lantas beliau bersabda, ‘Siapa ini?’ Maka saya katakan, Ummu Hani`, putri Abu Thalib.’ Maka beliau bersabda, ‘Selamat datang Ummu Hani`.’ Al-Hadits.([3])

 

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, bahwa Fathimah radhiyallaahu ‘anha berkata kepada Anas, saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikebumikan,

 

يَا أَنَسُ أَطَابَتْ أَنْفُسُكُمْ أَنْ تَحْثُوا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التُّرَابَ

 

“Wahai Anas, apakah jiwa-jiwa kalian rela menaburkan tanah di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?’([4])

 

Akan tetapi, wajib bagi wanita untuk berbicara di hadapan laki-laki asing sesuai dengan kebutuhan. Agar mereka tidak melembutkan ucapan bersama mereka, karena kadang hal ini akan merangsang laki-laki yang hatinya lemah lagi berpenyakit.

 

Allah subhaanahuu wa ta’aalaa telah berfirman,

 

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَستُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيتُنَّ فَلَا تَخضَعنَ بِٱلقَولِ فَيَطمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلنَ قَولًا مَّعرُوفًا ٣٢

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk([5]) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya([6]) dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab (33): 32)

 

Catatan:

 

1- Al-Qurthubiy rahimahullah berkata di dalam Tafsirnya terhadap firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,

 

وَإِذَا سَأَلتُمُوهُنَّ مَتَٰعًا فَاسئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَٰلِكُم أَطهَرُ لِقُلُوبِكُم وَقُلُوبِهِنَّ

 

…apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka… (QS. Al-Ahzab (33): 53)

 

Dia berkata, ‘Sesungguhnya wanita adalah aurat, badannya, dan suaranya. Maka tidak boleh menyingkap hal itu kecuali untuk suatu keperluan. Seperti persaksian atasnya dan selainnya.’

 

As-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menyusul ucapan tersebut, sebagaimana di dalam Majmu’ Fataawaa beliau, ‘Ucapan al-Qurthubiy rahimahullah, ‘Sesungguhnya suara wanita adalah aurat, maknanya adalah jika suara tersebut disertai dengan kelemah lembutan, adapun suaranya yang wajar, maka tidaklah aurat. Berdasarkan firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,

 

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَستُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيتُنَّ فَلَا تَخضَعنَ بِٱلقَولِ فَيَطمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلنَ قَولًا مَّعرُوفًا ٣٢

 

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab (33): 32)

 

Lajnah ad-Daa-imah (komite tetap untuk penelitian dan fatwa-fatwa Islam) pernah ditanya, ‘Apakah benar yang dikatakan bahwa suara wanita adalah aurat?’

 

Maka Lajnah menjawab, ‘Suara wanita tidaklah aurat secara mutlak. Dikarenakan kaum wanita banyak mengadu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka bertanya kepada beliau tentang urusan-urusan Islam. Dan mereka melakukan yang demikian bersama al-Khulafaa` ar-Rasyiduun radhiyallaahu ‘anhum, dan para pemimpin kaum muslimin setelah mereka. Dan tidak ada seorangpun dari para Imam Islam yang mengingkarinya.

 

Namun tidak boleh baginya untuk melemah lembutkan suaranya dalam berbicara. Berdasarkan firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,

 

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَستُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيتُنَّۚ فَلَا تَخضَعنَ بِٱلقَولِ فَيَطمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلنَ قَولًا مَّعرُوفًا ٣٢

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab (33): 32)

 

Dikarenakan yang demikian bisa menggoda kaum laki-laki, dan menjadi fitnah bagi mereka sebagaimana telah ditunjukkan oleh ayat tersebut. Wabillaahi at-taufiiq. Selesai.

 

2- Hadits suara wanita adalah aurat adalah hadits yang tidak ada asal usulnya.

 

3- Boleh bagi wanita untuk mengangkat suaranya dalam talbiyah haji atau ‘umrah sekiranya bisa terdengar oleh teman dekatnya jika aman dari fitnah.

 

An-Nasa`iy, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud telah mengeluarkan hadits dari as-Saa-ib bin Khallaad, dia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

جَاءَنِي جِبْرِيلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، مُرْ أَصْحَابَكَ أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ

 

“Datang kepada Jibril, dia berkata, ‘Ya Muhammad, perintahlah para sahabatmu untuk meninggikan suara-suara mereka dalam bertalbiyah.”([7])

 

Maka kaum wanitapun masuk di dalam perintah ini.

 

Inilah yang difahami oleh ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.

 

Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits dengan sanad shahih, dari al-Qaasim, dia berkata,

 

خَرَجَ مُعَاوِيَةُ لَيْلَةَ النَّفْرِ، فَسَمِعَ صَوْتَ تَلْبِيَةٍ، فَقَالَ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: عَائِشَةُ اعْتَمَرَتْ مِنَ التَّنْعِيمِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ فَقَالَتْ: «لَوْ سَأَلَنِي لَأَخْبَرْتُهُ»

 

“Mu’awiyah keluar pada malam nafar, kemudian dia mendengar suara talbiyah. Maka dia berkata, ‘Siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘’Aiysah, dia ber’umrah dari at-Tan’iim. Maka akupun menyebutkan yang demikian kepada ‘Aisyah. Maka dia berkata, ‘Seandainya dia bertanya kepadaku, maka pastilah kuberitahu dia.”([8])

 

Oleh karena itulah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, sebagaimana di dalam al-Fataawaa (26/115), ‘Wanita mengangkat suaranya, sekiranya teman dekat yang menyertainya mendengarnya.” Selesai.

 

Perlu diketahui juga bahwa sebagian ulama telah melarang wanita mengangkat suaranya dengan bertalbiyah.

 

(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)

______________________

Footnote:

([1]) HR. al-Bukhari (3120), Muslim (2396), Ahmad (1472), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (15/335)-pent

([2]) HR. At-Thabraniy, al-Kabiir (426), al-Haitsami berkata dalam Majma’ az-Zawaa-id (7658), ‘Diriwayatkan oleh at-Thabraniy, dan di dalamnya terdapat Syahr bin Hausyab, ia dha’if, dan juga telah ditsiqahkan, dan sisa perawinya adalah perawi as-Shahiih.’-pent

([3]) HR. Al-Bukhari (280), Muslim (336)-pent

([4]) HR. Al-Bukhari (4462)

([5]) Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. (Terjemah DEPAG RI)

([6]) Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina. (Terjemah DEPAG RI)

([7]) HR. an-Nasa`iy (2753), at-Tirmidzi (829), Ibnu Majah (2923), Ahmad (16617), Abu Dawud (1814), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya shahih.’ Shahiih al-Jaami’ (67), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (1136), as-Shahiihah (830). lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (30/380)-pent

([8]) HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (14665)-pent

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *