Al-‘Allaamah ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawiy rahimahullah berkata:
وَإِلىَ الْمِزْمَارِ وَالطُّنْبُوْرِ وَسَائِرِ الْأَصْوَاتِ الْمُحَرَّمَةِ.
“Dan (termasuk maksiat telinga adalah mendengarkan) seruling, thunbur, dan seluruh suara-suara yang diharamkan.”
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah ﷻ berfirman,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشتَرِي لَهوَ ٱلحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللهِ بِغَيرِ عِلمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُم عَذَابٌ مُّهِينٌ ٦ وَإِذَا تُتلَىٰ عَلَيهِ ءَايَٰتُنَا وَلَّىٰ مُستَكبِرًا كَأَن لَّم يَسمَعهَا كَأَنَّ فِيٓ أُذُنَيهِ وَقرًاۖ فَبَشِّرهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ٧
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِ “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash-Shabaa’ Al-Bakri rahimahullah. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ﷻ ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau ﷻ berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث مَرَّاتٍ.
“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.([1])
Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih,
Mujahid berkata
اللَّهْوُ: الطَّبْلُ
bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah thabl (genderang, drum dan semacamnya).([2])
Gambar Thabl
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy-Syaukani menukil perkataan Al-Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.([3])
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah ﷻ berfirman,
أَفَمِن هَٰذَا ٱلحَدِيثِ تَعجَبُونَ ٥٩ وَتَضحَكُونَ وَلَا تَبكُونَ ٦٠ وَأَنتُم سَٰمِدُونَ ٦١ فَٱسجُدُواْۤ لِلَّهِۤ وَٱعبُدُواْ۩ ٦٢
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ /saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.([4])
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An-Najm di atas).”([5])
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Perkataan Nabi ﷺ Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa Yang Menghalalkan Khomr Dengan Selain Namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi ﷺ,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”([6])
Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Istiqamah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Hajar dan Asy-Syaukani rahimahullah.
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
“Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.”([7])
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma-, beliau berkata,
سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.” Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.” Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah ﷺ ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”([8])
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik, berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi ﷺ melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”([9])
(Bersambung)
(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
([2]) Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’ At Tafasir.
([3]) Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani, 5/483, Mawqi’ At Tafasir.
([4]) Lihat Zaadul Masiir, 5/448.
([5]) Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.
([6]) Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
([7]) HR. Ibnu Majah (4020) didha’ifkan oleh al-Arnauth seraya berkata,’Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Tarikhnya (1/305), Ibnu Hibban (6759), at-Thabraniy dalam al-Kabir (3419), dan dalam Musnad as-Syamiyyiin (2061), al-Baihaqiy (8/295, dan 10/221) dan dalam as-Syu’ab (5114) dari dua jalur dari Mu’awiyah bin Shalih dengan sanad ini.’ Dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahiih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah (4020) seraya berkata, ‘Shahiih, al-Misykah (4292), ar-Raudh an-Nadhiir (452), as-Shahiihah (1/138-139)
([8]) HR. Ahmad (3965), Abu Dawud (4924), Ibnu Majah (1901), dihasankan oleh al-Arnauth, dan dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Hidaayatu ar-Ruwaat (4739), Tahriimu Aalaati at-Tharbi hal. 117, Shahiih Mawaaridu azh-Zham’aan (1689), lihat juga al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (5/207)
([9]) Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harani, 11/567, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.