Al-‘Allaamah ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawiy rahimahullah berkata:
وَكَتْمُ الشَّهَادَةِ
“Dan menyembunyikan persaksian.”
Kesaksian
Kesaksian untuk membela hak sesama adalah fardhu kifayah, berdasarkan firman Allah ﷻ:
وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ
“…Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…” (Al-Baqarah: 282)
Sedangkan pelaksanaannya fardhu ‘ain berdasarkan firman-Nya ﷻ:
وَلَا تَكتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكتُمهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلبُهُۥۗ وَٱللهُ بِمَا تَعمَلُونَ عَلِيم ٢٨٣
“… dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. al-Baqarah: 283)
Seorang saksi harus berkata jujur walaupun terhadap dirinya sendiri, berdasarkan firman Allah ﷻ:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ بِٱلقِسطِ شُهَدَآءَ لِلهِ وَلَو عَلَىٰٓ أَنفُسِكُم أَوِ ٱلوَٰلِدَينِ وَٱلأَقرَبِينَۚ إِن يَكُن غَنِيًّا أَو فَقِيرًا فَاللهُ أَولَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلهَوَىٰٓ أَن تَعدِلُواْۚ وَإِن تَلوُۥٓاْ أَو تُعرِضُواْ فَإِنَّ ٱللهَ كَانَ بِمَا تَعمَلُونَ خَبِيرًا ١٣٥
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walau pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An-Nisaa’: 135)
Dan dilarang bersaksi tanpa memiliki pengetahuan, berdasarkan firman ﷻ:
وَلَا يَملِكُ ٱلَّذِينَ يَدعُونَ مِن دُونِهِ ٱلشَّفَٰعَةَ إِلَّا مَن شَهِدَ بِٱلحَقِّ وَهُم يَعلَمُونَ٨٦
“Dan sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at adalah) orang yang mengakui yang haq (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az-Zukhruf: 86)
Kesaksian palsu termasuk dosa besar, dengan dalil hadits Abu Bakrah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ، وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ، فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ.
“Maukah kalian aku beritahu tentang dosa besar yang paling besar?’ Kami menjawab, ‘Mau, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, durhaka pada kedua orang tua.’ Pada saat itu beliau bertelekan kemudian duduk dan bersabda, ‘Ketahuilah, dan perkataan dusta serta kesaksian palsu.’ Beliau tidak henti-hentinya mengulangi kalimat tersebut, sampai kami katakan (dalam hati), ‘Seandainya beliau diam.’”([1])
(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) HR. Al-Bukhari (2654), Muslim (87)