Maksiat Lisan: Memainkan Seruling Dan Alat-Alat Musik Lain

Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:

 

وَمِنْهَا التَّزْمِيْرُ

 

“Dan diantara (bentuk maksiat lisan) adalah memainkan seruling.”

 

Sebagian orang mengira alat musik itu haram karena klaim sebagian kalangan saja. Padahal sejak masa silam, ulama madzhab telah menyatakan haramnya. Musik yang dihasilkan haram didengar bahkan harus dijauhi. Alat musiknya pun haram dimanfaatkan. Jual beli dari alat musik itu pun tidak halal. Kali ini kami akan buktikan dari madzhab Syafi’i secara khusus karena hal ini jarang disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Padahal sudah ada di kitab-kitab pegangan mereka.

 

Terlebih dahulu kita lihat bahwa nyanyian yang dihasilkan dari alat musik itu haram. Al Bakriy Ad Dimyathi berkata dalam I’anatuth Tholibin (2: 280),

 

بِخِلاَفِ الصَّوْتِ الْحَاصِلِ مِنْ آلاَتِ اللَّهْوِ وَالطَّرْبِ الْمُحَرَّمَةِ – كَالْوَتْرِ – فَهُوَ حَرَامٌ يَجِبُ كَفُّ النَّفْسِ مِنْ سِمَاعِهِ

 

“Berbeda halnya dengan suara yang dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram seperti ‘watr’, nyanyian seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.”

 

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh Al-Minhaj karya Ibnu Hajar Al Haitami disebutkan ,

 

(طُنْبُورٍ وَنَحْوِهِ) مِنْ آلَاتِ اللَّهْوِ وَكُلِّ آلَةِ مَعْصِيَةٍ كَصَلِيبٍ وَكِتَابٍ لَا يَحِلُّ الِانْتِفَاعُ بِهِ

 

“Thunbur dan alat musik semacamnya, begitu pula setiap alat maksiat seperti salib dan kitab (maksiat), tidak boleh diambil manfaatnya.” Jika dikatakan demikian, berarti alat musik tidak boleh dijualbelikan. Jual belinya berarti jual beli yang tidak halal.

 

Dalam kitab karya Al-Khatib Asy-Syarbini yaitu Mughni Al-Muhtaj disebutkan,

 

( وَآلَاتُ الْمَلَاهِي ) كَالطُّنْبُورِ ( لَا يَجِبُ فِي إبْطَالِهَا شَيْءٌ ) ؛ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهَا مُحَرَّمَةٌ لَا تُقَابَلُ بِشَيْءٍ

 

“Berbagai alat musik seperti at thunbuur tidak wajib ada ganti rugi ketika barang tersebut dirusak. Karena barang yang diharamkan pemanfaatannya tidak ada kompensasi sama sekali ketika rusak.” Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa alat musik adalah alat yang haram. Konsekuensinya tentu haram diperjualbelikan.

 

Dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari Matan Al-Ghayah wat-Taqrib (Matan Abi Syuja’) halaman 330 karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Al Hushniy Ad Dimasyqi Asy Syafi’i ketika menjelaskan perkataan Abu Syuja’ bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin memaparkan bahwa jika seseorang mengambil harta dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:

 

وَأَمَّا آلاَتُ اللَّهْوِ الْمُشْغِلَةُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ، فَإِنْ كَانَتْ بَعْدَ كَسْرِهَا لاَ تُعَدُّ مَالاً كَالْمُتَّخَذَةِ مِنَ الْخَشَبِ وَنَحْوِهِ فَبَيْعُهَا بَاطِلٌ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهَا مَعْدُوْمَةٌ شَرْعاً، وَلاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ إِلَّا أَهْلُ الْمَعَاصِيْ

 

“Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syar’i. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahlu maksiat.” ([1])

 

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah yang wafat pada tahun 974 H mengatakan,

 

الْأَوْتَارُ وَالْمَعَازِفُ كَالطُّنْبُوْرِ وَالْعُوْدِ وَالصَّنْجِ أَيْ ذِيْ الْأَوْتَارِ وَالرَّبَابِ وَالْجُنْكِ وَالْكَمَنْجَةِ وَالسِّنْطِيْرِ وَالدريج وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْآلاَتِ الْمَشْهُوْرَةِ عِنْدَ أَهْلِ اللَّهْوِ وَالسَّفَاهَةِ وَالْفُسُوْقِ وَهَذِهِ كُلُّهَا مُحَرَّمَةٌ بِلاَ خِلاَفٍ وَمَنْ حَكَى فِيْهَا خِلاَفاً فَقَدْ غَلَطَ أَوْ غَلَبَ عَلَيْهِ هَوَاهُ حَتَّى أَصَمَّهُ وَأَعْمَاهُ وَمَنَعَهُ هُدَاهُ وَزَلَّ بِهِ عَنْ سُنَنِ تَقْوَاهُ

 

“Alat musik dengan petik dan alat musik yang lain semisal rebab, kecapi dan simbal, demikian pula alat musik yang memiliki sinar yang dipetik, rebab, alat musik junki, biola, siter dan berbagai alat musik lain yang sudah dikenal di kalangan orang-orang musik, bodoh dan fasik. Ini semua adalah barang haram tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama di dalamnya. Siapa yang mengatakan adanya perselisihan maka orang tersebut boleh jadi salah paham atau kalah dengan hawa nafsunya sehingga pada akhirnya buta dan tuli dari kebenaran dan tergelincir dari jalan takwa”.

 

Ibnu Taimiyyah rahimahullah (W. 728H) beliau mengatakan,

 

وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلاَتِ اللَّهْوِ نُزَاعاً

 

“Tidak ada satu pun ulama mazhab empat yang menyebutkan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hukum alat musik”.

 

Beliau juga mengatakan,

 

مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّ آلاَتِ اللَّهْوِ كُلَّهَا حَرَامٌ

 

“Pendapat imam mazhab yang empat adalah haramnya semua bentuk alat musik.”

 

Dalam kitab al-Minhaj as-Sunah beliau mengatakan mengenai anggapan orang-orang Syiah bahwa imam mazhab yang empat menghalalkan nyanyian,

 

هَذَا مِنَ الْكَذِبِ عَلىَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُوْنَ عَلىَ تَحْرِيْمِ الْمَعَازِفِ الَّتِيْ هِيَ آلاَتُ اللَّهْوِ كَالْعُوْدِ وَنَحْوِهِ

 

“Ini adalah termasuk bagian dari kebohongan atas Imam Empat, karena sesungguhnya mereka bersepakat akan haramnya alat-alat musik, yang ia adalah alat-alat-alat lahwu, seperti kecapi dan semisalnya.”([2])

 

Beliau juga berkata di dalam al-Minhaj,

 

وَالْمَقْصُوْدُ هُنَا أَنَّ آلاَتِ اللَّهْوِ مُحَرَّمَةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَلَمْ يُحْكَ عَنْهُمْ نُزَاعٌ فِيْ ذَلِكَ

 

“Intinya, alat musik itu hukumnya haram menurut empat imam mazhab. Tidak ada yang menyebutkan adanya perbedaan di antara empat imam mazhab.” ([3])

 

(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/alat-musik-dalam-pandangan-ulama-madzhab-syafii.html

([2]) Minhaaju as-Sunnah, cet. Jaami’ah al-Imam, 3/349

([3]) Minhaaju as-Sunnah, cet. Jaami’ah al-Imam, 3/442

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *