Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:
وَكُلُّ كَلاَمٍ يَقْدَحُ فِي الدِّيْنِ أَوْ فِيْ أَحَدٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ أَوْ فِي الْعُلَمَاءِ أَوْ الْعِلْمِ أَوْ الشَّرْعِ أَوْ الْقُرْآنِ أَوْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ.
“Dan Setiap Ucapan Yang Mencela Agama, Atau Seorang Nabi Dari Kalangan Para Nabi, Atau Terhadap Para Ulama, Atau Terhadap Ilmu, Atau Syari’at, Atau Al-Qur`An, Atau Suatu Perkara Dari Syi’ar-Syi’ar Allah ﷻ.”
Allah ﷻ berfirman,
قُل أَبِاللهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُم تَستَهزِءُونَ ٦٥ لَا تَعتَذِرُواْ قَد كَفَرتُم بَعدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّب طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُم كَانُواْ مُجرِمِينَ ٦٦
“Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65 – 66)
Dalam sirah perjalanan Nabi ﷺ, fenomena penghinaan terhadap Islam sering muncul dari orang-orang yahudi dan munafik saja. Hampir semua tindakan penghinaan tersebut dihukum mati oleh Nabi ﷺ. Bahkan ada kasus salah seorang sahabat yaitu Umair bin ‘Adi ﷻ yang langsung membunuh seorang wanita yang menghina Nabi ﷺ tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada Rasulullah ﷺ. Namun ketika tindakan tersebut dilaporkan kepada Nabi ﷺ, beliau pun menyetujuinya bahkan kemudian berujar kepada para sahabat,
إِذَا أَحْبَبْتُمْ أَنْ تَنْظُرُوا إِلىَ رَجُلٍ نَصَرَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ بِالْغَيْبِ فَانْظُرُوا إِلىَ عُمَيْرٍ بْنِ عَدِيْ
“Jika kalian senang untuk melihat orang yang menolong Allah dan rasul-Nya maka lihatlah Umair bin ‘Adi”.([1])
Munculnya penghinaan terhadap agama tentu memiliki motivasi atau faktor latarbelakangnya. Menurut Syaikh Muhammad bin Sa’id al-Qahtoni, setidaknya ada enam faktor seseorang terjerumus ke dalam perilaku istihza’.
Pertama, benci dan dengki terhadap kandungan nilai-nilai agama.
Kedua, celaan atau balas dendam terhadap pelaku kebaikan.
Ketiga, bercanda yang berlebihan dan ingin menertawakan orang lain.
Keempat, sombong dan merendahkan orang lain.
Kelima, taqlid buta terhadap musuh-musuh Allah.
Keenam, cinta harta yang berlebihan sehingga dia akan mencarinya dengan cara apapun. ([2])
Sejatinya seluruh faktor diatas tidak akan muncul dari pribadi orang beriman. Karena pada dasarnya sikap peremehan atau penghinaan terhadap syi’ar-syi’ar Islam hanya akan muncul dari hati orang munafik saja. Sikap ini sangat bertentangan dengan prinsip keimanan. Kedua sikap yang bertentangan tersebut tidak mungkin bisa bertemu dalam diri seseorang. Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal dari ketaqwaan hati.
Allah ﷻ berfirman.
وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقوَى ٱلقُلُوبِ ٣٢
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (QS. al-Hajj (22): 32).
Jenis-jenis Istihza’
Secara umum Istihza’ terbagi menjadi dua jenis.
Pertama, Istihzaa’ sharih (penghinaan bersifat eksplisit). Seperti perkataan orang-orang munafik terhadap sahabat-sahabat Nabi, “Tidak pernah aku melihat orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut ketika bertemu musuh dibanding dengan ahli baca Al-Qur’an ini (yaitu Rasulullah ﷺ dan para sahabat, pent.)
Kedua, Istihza’ ghairu sharih (penghinaan bersifat implisit). Jenis ini sangat luas dan banyak sekali cabangnya. Diantaranya adalah ejekan dan sindiran dalam bentuk isyarat tubuh. Misalnya, seperti menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, menggerakkan tangan atau anggota tubuh lainnya.
Syeikh Abdullah Nasr bin Muhammad berkata bahwa bentuk istihza’ ini banyak sekali seperti luasnya samudra yang tak ada batasnya. Contohnya dengan melemparkan pandangan, menjulurkan lidah, memonyongkan bibir dan sebagainya. ([3])
Hukuman Mati bagi Para Penghujat
Istihza’ adalah tindakan yang sangat berlawanan dengan prinsip keimanan. Seseorang yang beriman tidak mungkin ada dalam hatinya muncul sikap pelecehan atau peremehan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan agama.
Para ulama sepakat bahwa pelaku istihza’ fiddien (menghina agama) adalah kafir, keluar dari agama Islam dan hukumannya adalah dibunuh.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Barang siapa yang menghina Allah ﷻ maka dia telah kafir baik dalam keadaan bercanda ataupun sungguhan (serius), begitu pula menghina Allah (langsung), atau dengan ayat-ayat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya.”([4])
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata: “Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir.” ([5])
Ibnu Nujaim rahimahullah mengatakan: “Hukumnya kafir, apabila seseorang menyematkan sifat kepada Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya atau memperolok-olok salah satu dari asma Allah ﷻ.” ([6])
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Menghina Allah dan Rasul-Nya adalah kafir keluar dari millah (agama), karena dasar agama terbangun atas pengagungan terhadap Allah, agama dan rasulnya. sementara istihza’ akan menghilangkan dasar keimanan dan membatalkannya.” ([7])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Hukuman bagi penghina Allah ﷻ jika ia muslim maka wajib dibunuh menurut ijma’ karena perbuatannya menjadikannya kafir murtad dan kedudukannya lebih buruk dari orang kafir asli.”([8])
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Setiap orang yang menghina Nabi Muhammad ﷺ dan mengejek beliau baik muslim ataupun kafir maka dia wajib dibunuh dan saya berpendapat dia dibunuh tanpa harus diminta untuk bertaubat.” ([9])
Allah menyebutkan dalam banyak ayat-Nya tentang kafirnya orang-orang yang menghina nilai-nilai Islam. Diantara firman-Nya adalah:
وَلَئِن سَأَلتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُم تَستَهزِءُونَ ٦٥ لَا تَعتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّب طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجرِمِينَ ٦٦
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?.” Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
lbnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma menceritakan tentang sebab turunnya ayat tersebut adalah sebagai berikut, “Dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.” Para ahli baca Al-Qur’an yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kamu. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah ﷺ.”
Auf bin Malik segera menemui Rasulullah ﷺ untuk melaporkan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) tersebut telah turun kepada beliau.
Ketika orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Rasulullah ﷺ, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka orang itu berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah ﷺ, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun Rasulullah ﷺ balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. ([10])
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.” ([11])
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam kitab Raudhatuth Thalibin: “Seandainya ia mengatakan -dalam keadaan ia minum khamar atau melakukan zina- dengan menyebut nama Allah! Maksudnya adalah melecehkan asma Allah, maka hukumnya kafir.” ([12])
Sementara dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman:
وَإِن نَّكَثُوٓاْ أَيمَٰنَهُم مِّنۢ بَعدِ عَهدِهِم وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمۡ فَقَٰتِلُوٓاْ أَئِمَّةَ ٱلكُفرِ إِنَّهُمۡ لَآ أَيمَٰنَ لَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَنتَهُونَ ١٢
“Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (QS. At-Taubah [9]: 12)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebut orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam sebagai aimmatul kufri, yaitu pemimpin-pemimpin orang-orang kafir. Jadi ia bukan sekedar kafir biasa, namun gembong orang-orang kafir. Tentang hal ini, imam Al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa membatalkan perjanjian damai dan mencerca agama Islam niscaya ia menjadi pokok dan pemimpin dalam kekafiran, sehingga berdasar ayat ini ia termasuk jajaran pemimpin orang-orang kafir.” ([13])
Keseriusan sikap ini juga nampak dalam berbagai keputusan Rasulullah ﷺ. Dalam bermuamalah dengan manusia beliau terkenal sosok yang paling pemaaf, namun sangat berbeda ketika ajaran Islam dilecehkan. Sifat beliau yang semula pemaaf berubah menjadi sangat marah ketika ajaran islam dilecehkan bahkan hampir semua orang yang melecehkan islam, beliau putuskan untuk dibunuh.
Dalam sebuah riwayat Nabi ﷺ bersabda kepada para sahabatnya,
«مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللهَ وَرَسُولَهُ»، فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ؟ قَالَ: «نَعَمْ»
“Siapa yang bersedia membereskan Ka’ab bin Asyraf? Dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya!” Maka berdirilah Muhamamd bin Maslamah dan berkata, “Apakah engkau suka bila aku membunuhnya, Wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Ya”.”([14])
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, “Bahwasannya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi ﷺ dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau.
Hingga pada satu malam, ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi ﷺ. Laki-laki itu lalu mengambil pedang pendeknya dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, lalu keluarlah seorang anak diantara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya.
Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ mengumpulkan orang-orang dan bersabda:
«أَنْشُدُ اللهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ»
“Aku bersumpah dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”.
Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi ﷺ Ia berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، كَانَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ، فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي، وَأَزْجُرُهَا، فَلَا تَنْزَجِرُ، وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ، وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً، فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ، فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأْتُ عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا،
“Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara. Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang pendekku lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”.
Maka Nabi ﷺ bersabda:
«أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ»
“Saksikanlah bahwa darah wanita itu sia-sia.”([15])
Makna ‘darahnya sia-sia’ adalah, tak boleh ada balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat (tebusan darah). Jadi darahnya halal alias boleh dibunuh.
Demikian juga sikap para sahabat pasca wafatnya Nabi ﷺ. Dalam menyikapi kasus penghinaan terhadap Islam, mereka tidak berbeda dengan Nabi ﷺ.
Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata: “Seorang laki-laki yang mencaci maki Nabi ﷺ dihadapkan kepada khalifah Umar bin Khathab, maka khalifah membunuhnya. Khalifah Umar berkata:
مَنْ سَبَّ اللهَ أَوْ سَبَّ أَحَدًا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia!” ([16])
Hukuman mati untuk orang-orang yang mencaci maki Nabi ﷺ juga diriwayatkan dari perkataan para ulama sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan para komandan perang dan gubernur di kalangan sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Khalid bin Walid dan Amru bin Ash radhiyallaahu ‘anhum. ([17])
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata,
أَيُّمَا مُسْلِمٍ سَبَ اللهَ أَوْ سَبَّ أَحَدًا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ فَقَدْ كَذَّبَ بِرَسُوْلِ اللهِ ﷺ وَهِيَ رِدَّةٌ يُسْتَتَابُ فَإِنْ رَجَعَ وَإِلاَّ قُتِلَ، وَأَيُّمَا مُعَاهَدٍ عَانِدٍ فَسَبَّ اللهَ أَوْ سَبَّ أَحَدًا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ أَوْ جَهَرَ بِهِ فَقَدْ نَقَّضَ الْعَهْدَ فَاقْتُلُوْهُ
“Muslim mana saja yang mencela Allah, atau mencela seseorang dari kalangan para Nabi, maka dia telah berdusta terhadap Rasulullah ﷺ, dan itu adalah sebuah kemurtadan, yang (pelakunya) diminta untuk bertaubat, maka jika dia ruju’ (kembali bertaubat, dia dilepas), jika dia tidak (mau bertaubat), dia dibunuh. Dan (orang kafir) mu’ahad (yang ada perjanjian damai dengan kaum muslimin) mana saja yang menentang, lalu dia mencela Allah, atau mencela salah seorang dari kalangan para Nabi, atau terang-terangan terhadapnya, maka sungguh dia telah membatalkan perjanjian (damai), maka bunuhlah dia.” ([18])
Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: “Ia harus dibunuh, karena orang yang mencaci maki Nabi ﷺ telah murtad dari Islam, dan seorang muslim tidak akan mencaci Nabi ﷺ.” ([19])
Kesimpulannya, dalam hal ini, para ulama tidak ada yang berbeda pendapat bahwa orang yang mencaci maki Nabi ﷺ, jika dia seorang muslim maka ia wajib dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi.
Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci maki.
Imam Malik rahimahullah berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi ﷺ adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam. Demikian penjelasan dari imam Al-Mundziri. ([20])
Bagaimana jika Pelakunya Bertaubat
Dalam kitab Qoul Mufid, Syeikh Utsaimin rahimahullah menyebutkan secara rinci bagaimana sikap para ulama terhadap orang-orang yang mengolok-olok agama kemudian bertaubat. Beliau berkata: Para ulama berselisih pendapat tentang orang-orang yang mencela Allah, Rasul-Nya dan kitab-Nya, apakah taubatnya diterima atau tidak ?
Taubatnya tidak di terima.
Pendapat ini dipegang oleh masyhur ulama hanabilah bahkan ia dibunuh dalam keadaan kafir, tidak disholatkan dan tidak dido’akan dengan rohmat, serta di kuburkan di suatu tempat yang jauh dari kuburan orang-orang muslim. Karena istihza’ adalah bagian yang cukup serius dan tidak perlu taubat bagi pelaku tersebut.
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa taubatnya diterima jika kita mengetahui kejujuran taubatnya dan meyakini serta menetapkan bahwa dirinya salah. Hal ini didasari oleh keumuman dalil tentang diterimanya taubat. Firman Allah ﷻ:
۞قُل يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم لَا تَقنَطُواْ مِن رَّحمَةِ ٱللهِۚ إِنَّ ٱللهَ يَغفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosasemuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
إِنَّ ٱللهَ لَا يَغفِرُ أَن يُشرَكَ بِهِۦ وَيَغفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشرِكۡ بِاللهِ فَقَدِ ٱفتَرَىٰٓ إِثمًا عَظِيمًا ٤٨
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
Orang yang menghina Allah diterima taubatnya dan tidak dibunuh, dalam hal ini bukan karena berkenaan dengan hak Allah atau hak rasul. Akan tetapi karena Allah mengkabarkan kepada kita dengan pemberian maaf-Nya bagi hamba-Nya yang bertaubat kepada-Nya, karena Allah Maha Pengampun atas segala dosa. Sedangkan orang yang menghina Rasul itu terklasifikasi dalam dua hal :
Karena perkara syar’i, yaitu karena beliau sebagai utusan Allah ﷻ. Dan dalam hal ini jika pelaku tersebut bertaubat maka taubatnya diterima.
Karena perkara pribadi, yaitu karena ia adalah salah satu dari para rasul. Dan dari segi ini ia wajib dibunuh karena ini adalah hak rasul. Dan ia dibunuh setelah ia bertaubat meskipun ia adalah muslim. Pendapat inilah yang yang di pilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, karena hal ini adalah hak Rasul. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitabnya yaitu Ash-Sharimul Masllul ‘Ala Syatimi ar-Rasul.
Ada sebagian manusia yang mencela Rasul ﷺ dan taubatnya di terima tanpa dibunuh, tetapi ini adalah pada waktu Rasulullah masih hidup dan telah mengguggurkan haknya. Tapi setelah beliau meninggal, kita tidak tahu apakah beliau mengguggurkan haknya atau tidak. Maka kita hanya menjalankan apa yang kita pandang wajib terhadap hak orang yang menghina beliau.
Kemudian kalau ada yang mengatakan: “Kita kan gak tahu apakah Rasul memaafkan atau tidak, bukankah ini mewajibkan kita untuk bertawaquf?.” Maka kita katakan, tidak wajib untuk tawaquf, karena mafsadah (kerusakan) itu ada karena celaan. Bukankah Rasul ﷺ sering memaafkan orang yang mencelanya? Ya, tetapi kalau itu terjadi ketika Rasul ﷺ masih hidup akan menghasilkan maslahat dan ta’lif (melembutkan hati).
Seperti beliau mengetahui person-person munafiqin dan beliau tidak membunuh mereka, supaya orang tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya. Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hanya di masa Rasulullah saja tidak ada hukuman pembunuhan terhadap orang yang diketahui munafik.” Artinya setiap pelaku yang menghina ajaran islam akan dihukumi kafir. ([21])
(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) lihat: Ibnu Taimiyyah dalam Ash-Sharim Al-Maslul, hal. 95
([2]) Al-Qahtoni, al-istihza’ biddiin wa ahluhu
([3]) Syeikh Abdullah Nasr bin Muhammad, Syarh Nawaqidul Islam, hal. 70
([4]) Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/297
([5]) Qadhi Iyadh, Asy-Syifaa 2/1092
([7]) Nawaqith Al-Iman Al-Qauliah Wa Al-‘Amaliah: 114
([8]) Ibnu Taimiyah, Sharimu Al-Maslul, 226
([9]) Ibnu Taimiyah Sharimu Al-Maslul, 315
([10]) lihat: Al-Qurtubi, Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an, 14/333-335, Ibnu Al-‘Arabi, Ahkamu Al-Qur’an, 2/542
([11]) Ibnu Jauzi, Zaadul Masiir 3/465
([12]) An-Nawawi, Raudhatuth Thalibin, 10/67
([13]) Al-Qurtubi, Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/84
([14]) Muttafaqun ‘Alaih, HR. al-Bukhari (2510) ( Muslim (1801)
([15]) HR. Abu Daawud (4361), An-Nasaa’iy (4070), dan yang lainnya, dishahihkan oleh al-Albaniy di dalam al-Irwa` dibawah hadits no. 1251, dan dinyatakan Qawiy oleh al-Arnauth,
([16]) Ibnu Taimiyah, Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 201
([17]) Ibnu Taimiyah, Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 202-205
([18]) Ibnu Taimiyah, Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 201
([19]) Ibnu Taimiyah, Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 5
([20]) ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11
([21]) Lihat: Al-Utsaimin, Qoul Mufid, 2/268