- Keyakinan sebagian orang bahwa menyentuh mushhaf tidak diperbolehkan bagi orang yang berhadats (yang tidak punya wudhu`)
Ini adalah keyakinan salah. Masalah tersebut adalah masalah khilafiyah. Dan yang rajih (unggul) adalah bolehnya menyentuh mushhaf bagi orang yang berhadats.
Imam Malik, as-Syafi’iy, Ahmad dan Jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats untuk menyentuh mushhaf, dan hujjah kelompok ini adalah,
1- Firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلمُطَهَّرُونَ ٧٩
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. al-Waaqi’ah (56): 79) ([1])
2- Hadits ‘Amr bin Hazm, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis untuk penduduk Yaman sebuah tulisan, dan beliau memberikan peringatan,
لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
“Tidak menyentuh al-Qur`an kecuali orang yang suci.”([2])
Dalam rangka membantah dalil-dalil ini, penulis kitab Shahih Fiqh as-Sunnah berkata, ‘Adapun ayat yang mulia tersebut, maka tidak sempurna pendalilan dengannya kecuali setelah menjadikan dhamir dalam kalimat yamassuhuu, kembali kepada al-Qur`an. Sementara yang nampak, yang diatas pendapat inilah mayoritas ahli tafsir, bahwa dhomir tersebut kembali kepada kitab yang terjaga, yang ada di langit yaitu al-Lauh al-Mahfuzh.
Sementara al-muthahharuun (orang-orang yang disucikan) adalah para malaikat. Yang memberikan isyarat ini adalah susunan ayat-ayat yang mulia tersebut,
إِنَّهُۥ لَقُرءَانٌ كَرِيمٌ ٧٧ فِي كِتَٰبٍ مَّكنُونٍ ٧٨ لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلمُطَهَّرُونَ ٧٩
“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. al-Waaqi’ah (56): 77-79)
Hal ini dikuatkan oleh firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ ١٣ مَّرفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍِ ١٤ بِأَيدِي سَفَرَةٍ ١٥ كِرَامٍِ بَرَرَةٍ ١٦
“Di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan Para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa (80): 13-16)
Adapun hadits tersebut di atas, maka ia adalah hadits dha’if, tidak layak untuk berhujjah dengannya. Dikarenakan ia berada di dalam shahiifah yang tidak terdengar. Dan di dalam perawi sanadnya terdapat perbedaan yang sangat.
Seandainya hadits tersebut shahih, dan bahwa dhamir ayat tersebut kembali kepada al-Qur`an, maka kami katakan, ‘Kata at-Thahir adalah termasuk lafazh yang musytarak (kolektif), mencakup penyebutan secara mutlak bagi orang-orang mukmin, orang yang suci dari hadats besar, orang yang suci dari hadats kecil, orang yang tidak ada najis pada tubuhnya. Maka permasalahan ini kepada yang telah di tetapkan di dalam ilmu ushul.
Maka barangsiapa membolehkan membawa lafazh musytarak (kolektif) kepada keseluruhan maknanya, maka dia membawanya disini.
Akan tetapi, tatkala menyebutkan secara mutlak penamaan najis terhadap seorang mukmin yang berhadats atau junub tidak sah, tidak secara hakiki maupun majaziy, tidak juga secara bahasa, karena sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hadits yang telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim,
«المُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ»
“Orang mukmin itu tidak najis.”([3])
Dan telah valid, bahwa orang mukmin itu selalu suci. Maka ia terhalang dari termasuk cakupan ayat dan hadits tersebut.
Maka menjadi jelaslah bahwa lafazh tersebut dibawa kepada orang yang tidak musyrik. Sebagaimana firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
إِنَّمَا ٱلمُشرِكُونَ نَجَسٌ
“… Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis…” (QS. at-Taubah (9): 28)
Dan berdasarkan hadits larangan safar dengan membawa al-Qur`an ke negeri musuh. Dan yang mengatakan bahwa lafazh yang musytarak adalah dirinci di dalamnya, maka ia tidak bisa diamalkan hingga dijelaskan, dia berkata, ‘Tidak ada hujjah di dalam ayat ataupun hadits tersebut, sekalipun seandainya kata at-thahir (orang yang suci) itu dibenarkan kepada orang yang tidak berhadat besar maupun kecil.” (Nailul Authar (I/260)
Maka diketahuilah bahwa tidak ada dalil bagi kewajiban wudhu` untuk menyentuh mushhaf. Dan inilah madzhab Abu Hanifah, Dawud, dan Ibnu Hazm. Dengannya pula Ibnu ‘Abbas dan sekelompok salaf berpendapat, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir, dimana dia berkata di dalam al-Ausath (5/34), ‘Jika seorang muslim tidak najis, maka dia adalah orang yang suci seperti kondisinya sebelum dia junub. Hanya saja dia diperintah untuk mandi, sebagai sebuah ibadah, yang dengannya para hamba-Nya beribadah kepada-Nya. Dan sebagaimana diperintahkan kepada orang yang keluar angin dari duburnya untuk membasuh anggota wudhu`, padahal dia, sebelum membasuh anggota wudhu` tersebut, dalam keadaan suci, anggota-anggota wudhu`nya. Hanya saja ia tengah beribadah kepada Allah dengan bersuci. Sebagaimana orang yang junub beribadah kepada Allah dengan mandi. ([4])
(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)
______________________
Footnote:
([1]) Bentuk argumentasi dari ayat ini menurut ulama yang menjadikannya sebagai hujjah adalah firman Allah yang artinya, ‘tidak menyentuhnya’ adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan. Sehingga maknanya adalah ‘janganlah menyentuhnya’, dan bukan semata-mata kalimat berita karena berita yang Allah sampaikan pasti tidak meleset. Sedangkan kenyataannya mushaf al Qur’an disentuh oleh muslim, munafik dan orang kafir.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kitab dalam ayat tersebut adalah Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kita. Alasannya, karena dalam ayat tersebut disebut “tanzil“, artinya turun. Demikian alasan An Nawawi rahimahullah dalam Al–Majmu’.(Al Majmu’, 2/72)
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Para ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al-Qur’an dalam ayat di atas adalah mushaf Al-Qur’an berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan menjadi empat pendapat.
Pertama, mereka adalah orang-orang yang bersih dari hadats. Inilah pendapat mayoritas ulama. Sehingga ayat di atas adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan.
Kedua, orang yang bersih dari syirik. Inilah pendapat ibnu As-Sa’ib.
Ketiga, orang yang bersih dari dosa dan kesalahan. Inilah pendapat Ar-Robi’ bin Anas.
Keempat, makna ayat adalah tidak ada yang bisa merasakan nikmatnya Al-Qur’an dan manfaatnya melainkan orang yang mengimani al-Qur’an. Adanya pendapat ini diceritakan oleh al Faro’. (Zaadul Masiir, 8/152, terbitan al-Maktab al-Islami)-pent
([2]) HR. Al-Hakim (1447), Malik dalam al-Muwaththa` (534), al-Baihaqiy dalam al-Kubra (414), at-Thabraniy (13217), al-Irwa` (122), Shahiih al-Jaami’ (7780), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (22/321)-pent
([3]) HR. al-Bukhari (281), Muslim (371)-pent
([4]) Sementara pendapat wajibnya suci untuk menyentuh mushaf, merupakan Pendapat para sahabat dan tidak ada yang menyelisihinya.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pendapat imam mazhab yang empat, mushaf al-Qur’an tidak boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci sebagaimana dalam surat yang dikirimkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amr bin Hazm,
أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci.”
Imam Ahmad mengatakan, “Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menuliskan surat tersebut kepada ‘Amr bin Hazm.” Inilah pendapat Salman al-Farisi, Abdullah bin Umar dan yang lainnya. Tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi pendapat dua sahabat ini”. (Majmu’ Al–Fatawa, 21/266)
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah pendapat yang diketahui dari para sahabat, seperti Sa’ad, Salman dan Ibnu ‘Umar.” (Majmu’ Al–Fatawa, 21/288)
Dalam Syarh al–Umdah, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabi’in tanpa diketahui adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin. Ini menunjukkan bahwa pendapat ini telah dikenal di antara mereka.” (Syarh Al–‘Umdah, 1/383)
Di antara pendapat para sahabat dalam masalah ini adalah sebagai berikut.
- Sa’ad bin Abi Waqash
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ فَقَالَ سَعْدٌ لَعَلَّكَ مَسِسْتَ ذَكَرَكَ قَالَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ قُمْ فَتَوَضَّأْ فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ
Dari Mush’ab bin Saad bin Abi Waqash, “Aku memegang mushfah di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash lalu aku menggaruk-garuk”. Beliau lantas berkata, “Barangkali engkau menyentuh kemaluanmu?” “Benar”, jawabku. Beliau berkata, “Pergilah lalu berwudhulah.” Aku lantas bangkit berdiri dan berwudhu lalu aku kembali. (HR. Imam Malik dalam Muwatha’ (128) dll.)
Al-Baihaqi dalam al-Khilafiyat, 1/516 mengatakan, “Riwayat ini shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’. Riwayat di atas juga dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 1/161 no. 122.
- Salman al Farisi
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ أَمَسُّهُ إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْنَا قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman, Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang hajat, setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al-Qur’an.” Beliau berkata, “Silakan bertanya namun aku tidak akan menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah: 77). Kami pun mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami sebelum beliau berwudhu. (Diriwayatkan oleh al Hakim, no. 3782 dan dinilai shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dan Daruquthni, no. 454 dll)
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa riwayat dari Salman itu shahih. (Majmu’ Al–Fatawa, 21/200)
- ‘Abdullah bin Umar
Dari Nafi dari Ibnu Umar bahwa dia tidak menyentuh mushaf melainkan dalam keadaan suci.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no 4728)-pent