Maksiat Telinga: Mendengarkan Ghibah Dan Namimah

 

وَكَالْاِسْتِمَاعِ إِلىَ الْغِيْبَةِ وَالنَّمِيْمَةِ وَسَائِرِ الْأَقْوَالِ الْمُحَرَّمَةِ بِخِلاَفِ مَا إِذَا دَخَلَ عَلَيْهِ السِّمَاعُ قَهْرًا وَكَرِهَهُ وَلَزِمَهُ الْإِنْكَارُ إِنْ قَدَرَ.

 

“Dan (termasuk maksiat telinga adalah mendengar segala suara yang diharamkan) seperti mendengarkan ghibah, namimah, dan seluruh ucapan-ucapan yang diharamkan. Berbeda jika pendengaran itu masuk kepadanya dengan terpaksa, sementara dia membencinya. Dan dia harus mengingkari jika mampu.”

 

Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.

 

Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.

 

Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan ghibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).

 

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah ﷻ dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak dosa baginya mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu, jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”([1])

 

Allah ﷻ berfirman :

 

وَإِذَا رَأَيتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِيٓ ءَايَٰتِنَا فَأَعرِض عَنهُم حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيرِهِۦۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيطَٰنُ فَلَا تَقعُد بَعدَ ٱلذِّكرَىٰ مَعَ ٱلقَومِ ٱلظَّٰلِمِينَ٦٨

 

“Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk bersama kaum yang dzolim setelah kalian ingat”. (QS. al-An’aam: 68)

 

Dan meninggalkan majelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah ﷻ:

 

وَإِذَا سَمِعُواْ ٱللَّغوَ أَعرَضُواْ عَنهُ وَقَالُواْ لَنَآ أَعمَٰلُنَا وَلَكُم أَعمَٰلُكُم سَلَٰمٌ عَلَيكُم لَا نَبتَغِي ٱلجَٰهِلِينَ ٥٥

 

Dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”.”. (QS. Al-Qashash: 55)

 

وَٱلَّذِينَ هُم عَنِ ٱللَّغوِ مُعرِضُونَ ٣

 

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”. (QS. Al-Mu’minun :3)

 

Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut, tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah ﷺ:

 

“Dari Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Nabi ﷺ bersabda:

 

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ، رَدَّ اللهُ وَجْهَهُ النَّارَ

 

“Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.”([2])

 

Demikian juga pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang dighibahi, mereka akan membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:

 

عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَلِكَ مُنَافِقٌ، لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ : لاَ تَقُلْ ذَلِكَ، أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

 

“Dari ‘Itban bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Nabi ﷺ menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata: “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Maka Nabi ﷺ berkata: “Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah”.([3])

 

Dari Ka’ab bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi ﷺ telah sampai di Tabuk, dan sambil duduk beliau bertanya:

 

مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَالنَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : بِئْسَ مَا قُلْتَ، وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا، فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ

 

“Apa yang dilakukan Ka’ab?”, (Yakni mengapa dia tidak keluar berjihad ke Tabuk ini-Red.) maka ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal ﷻ berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah ﷺ pun diam.”([4])

 

Adapun tentang namimah, maka Namimah adalah suatu yang diharamkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan kesepakatan seluruh umat Islam.

 

Allah ﷻ berfirman,

 

وَلَا تُطِع كُلَّ حَلَّاف مَّهِينٍ ١٠ هَمَّاز مَّشَّآءِۢ بِنَمِيم ١١ مَّنَّاع لِّلۡخَيرِ مُعتَدٍ أَثِيمٍ١٢

 

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa”. (QS al Qalam:10-12).

 

عَنْ هَمَّامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ حُذَيْفَةَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ رَجُلاً يَرْفَعُ الْحَدِيثَ إِلَى عُثْمَانَ . فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ ﷺ يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ »

 

Dari Hammam, Kami sedang duduk-duduk bersama Hudzaifah lalu ada yang berkata kepada Hudzaifah, “Sungguh ada orang yang melaporkan perkataan orang lain kepada Khalifah Utsman”. Hudzaifah lantas berkata, aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, “Qattat itu tidak akan masuk surga.”([5])

 

عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلاً يَنِمُّ الْحَدِيثَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ »

 

Dari Hudzaifah, beliau mendapatkan laporan tentang adanya seseorang yang suka melakukan namimah maka beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Nammam (orang yang melakukan namimah) itu tidak akan masuk surga.”([6])

 

Namam adalah orang yang mendengar langsung sebuah berita kemudian menyampaikannya. Sedangkan qattat adalah orang yang mendengar berita dari sumber yang tidak jelas kemudian menyampaikannya.

 

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ berkata,

 

« أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ هِىَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ»

 

“Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia.”([7])

 

Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutan dari Yahya bin Abi Katsir bahwa beliau mengatakan, “Tukang mengadu domba dan tukang bohong dalam waktu sesaat itu bisa merusak masyarakat yang jika dilakukan tukang sihir memerlukan waktu setahun”.

 

Abul Khattab dalam ‘Uyun al-Masail mengatakan, “Termasuk sihir adalah melakukan namimah dan merusak hubungan di antara manusia.”([8])

 

Namimah termasuk sihir karena memiliki kesamaan dalam hal mampu memecah belah manusia, merubah hati dua orang yang semula saling mencintai dan juga dalam kemampuan menimbulkan kejahatan.

 

Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, ketika Rasulullah ﷺ melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Nabi bersabda,

 

« يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ »

 

“Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Memang masalah mereka adalah dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri. Sedangkan orang kedua suka melakukan namimah.”([9])

 

Setiap orang yang diadu domba dengan ada orang yang mengatakan kepada dirinya, “Si A telah mencelamu atau telah melakukan demikian dan demikian untuk menyakitimu” itu memiliki kewajiban untuk melakukan enam hal berikut ini.

 

  1. Tidak langsung menerima ucapan orang itu karena tukang adu domba adalah orang fasik yang omongannya tidak boleh dipercaya.
  2. Melarangnya melakukan perbuatan tersebut, memberikan nasehat dan mencela perbuatannya.
  3. Membencinya karena Allah. Hal ini disebabkan dia adalah orang yang Allah benci. Sedangkan membenci orang yang Allah benci adalah suatu kewajiban.
  4. Tidak berburuk sangka kepada sia A.
  5. Tidak boleh memata-matai dan mencari-cari kebenaran berita yang baru saja dia terima.
  6. Namimah yang dia dengar tidak boleh menyebabkannya membalas dengan namimah pula. Dia tidak rela dengan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba itu. Karenanya seharusnya dia tidak menceritakan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba tersebut. Misalnya dengan mengatakan, “Si B bercerita bahwa si A berkata demikian dan demikian”. Jika hal ini dia lakukan berarti dia juga menjadi tukang adu domba dan sama saja melakukan perkara yang dia larang sendiri.

 

(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) Bahjatun Nadzirin 3/29,30

([2]) HR. At-Tirmidzi (1931) dan Ahmad (6/450), berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Shahih atau hasan

([3]) Bukhari (425, 1186) dan Muslim (33)

([4]) HR. Bukhari (4418) dan Muslim (2769)

([5]) HR. Bukhari (5709) dan Muslim (304)

([6]) HR. Muslim (303)

([7]) HR. Muslim (6802)

([8]) Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid hal. 350, terbitan Dar al Fikr Beirut

([9]) HR. Bukhari (213)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *