Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:
وَالسُّؤَالُ لِلْغَنِيِّ بِمَالٍ أَوْ حِرْفَةٍ.
“Dan Meminta-Minta bagi Orang Kaya dengan (adanya harta padanya) atau (dengan) adanya kemampuan untuk bekerja.”
Diantara dalil larangan meminta-minta bukan karena kebutuhan:
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”.([1])
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah ﷻ ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.
“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.”([2])
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
الْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.”([3])
Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran. Penguasa adalah orang yang memegang baitul maal harta kaum Muslimin. Seseorang yang mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa karena penguasalah yang bertanggung jawab atas semuanya.
Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah ﷺ, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
“Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)”.
Kemudian Hakîm berkata: “Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia”.
Ketika Abu Bakar ﷻ menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm ﷻ untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia terima. Namun, Hakîm tidak mau menerimanya, sebab ia telah berjanji kepada Rasulullah ﷺ. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu namun ia juga tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab ﷻ berkata di hadapan para sahabat: “Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yang telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun ia tidak mau menerimanya. Dan Hakîm ﷻ tidak mau menerima suatu apa pun dari seorang pun setelah Nabi ﷺ sampai ia meninggal dunia”.([4])
Dari Abû Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata: “Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« مَنْ سَأَلَ النَّاس تَكَثُّراً فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْراً ، فَلْيسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ »
“Barangsiapa meminta kepada orang-orang untuk memperbanyak hartanya maka sesungguhnya dia sedang meminta bara api([5]) maka (terserah) silahkan menyedikitkan atau memperbanyak.”([6])
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”([7])
Nabi ﷺ dalam haditsnya menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta), sebagaimana yang Allah ﷻ sebutkan dalam firman-Nya.
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ 273
“(Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui” [QS. al-Baqarah (2): 273].
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm ﷻ dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
“Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya”.([8])
Rasulullah ﷺ bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya”.([9])
Dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: “Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« مَنْ تَكَفَّلَ لي أَن لا يسْأَلَ النَّاسَ شَيْئاً ، وَأَتَكَفَّلُ له بالجَنَّة ؟ » فقلتُ : أَنا ، فَكَانَ لاَ يسْأَلُ أَحَداً شَيْئاً ،
“Barangsiapa menjaminkan dirinya kepadaku untuk tidak meminta sesuatupun kepada sesama manusia maka aku menjamin surga untuknya.” Saya berkata: “Saya.” Maka dia tidak pernah meminta sesuatu apapun pada orang lain.”([10])
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
“Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan yang cepat.”([11])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Muttafaqun ‘alaihi. HR. al-Bukhâri (1474) Muslim (1040 (103))
([2]) Shahîh. HR. Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (2446), dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (6281).
([3]) Shahîh. At-Tirmidzi (681), Abu Dawud (1639), an-Nasâ`i (V/100) dan dalam as-Sunanul-Kubra (2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibbân (3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VII/182-183, 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, 11076).
([4]) Shahîh. Al-Bukhâri (1472), Muslim (1035), dan lainnya.
([5]) Qadhi ‘Iyadh berkata: “Artinya ia akan dihukum dengan neraka, tetapi bisa jadi maksudnya adalah seperti yang nampak dalam kalimat yaitu harta yang ia ambil akan berubah menjadi bara api yang akan diseterikakan kepadanya, sebagaimana yang ada pada penolak membayar zakat.
([7]) Shahîh. HR Muslim (1044), Abu Dâwud (1640), Ahmad (III/477, V/60), an-Nasâ`i (V/89-90), ad-Dârimi (I/396), Ibnu Khuzaimah (2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibbân (3280, 3386, 3387 –at-Ta’lîqtul-Hisân), dan selainnya.
([8]) Shahîh. HR al-Bukhâri (1471, 2075).
([9]) Shahîh. HR Muslim (1054) dan lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhu.
([10]) HR. Abû Dâwud (1643) dishahihkan oleh al-Arnauth rahimahullaah.
([11]) HR Ahmad (I/389, 407, 442), Abu Dâwud (1645), at-Tirmidzi (2326), dan al-Hâkim (I/408). Lafazh ini milik Abu Dâwud dan dihasankan oleh al-Arnauth.