Al-‘Allaamah ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawiy rahimahullah berkata:
وَالْقُبْلَةُ الْمُحَرِّكَةُ لِلْمُحْرِمِ بِنُسُكٍ وَلِصَائِمٍ فَرْضًا أَوْ لِمَنْ لاَ تَحِلُّ لَهُ قُبْلَتُهُ.
“Dan ciuman yang menggerakkan (syahwat) bagi orang yang berihram (haji atau umrah), dan bagi yang berpuasa fardhu, atau terhadap orang yang tidak halal menciumnya.”
Tentang ciuman syahwat suami istri yang sedang berihram, maka ini termasuk larangan yang tercakup dalam firman Allah ﷻ:
ٱلحَجُّ أَشهُرٌ مَّعلُومَٰتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلحَجِّۗ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[[1]], berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…” (QS. al-Baqarah: 197)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘Dan firman Allah falaa rafatsa, yaitu ‘Barangsiapa berihram haji, atau ‘umrah, maka hendaknya dia menjauhi rafats, yaitu jima’. Sebagaimana firman Allah radhiyallaahu ‘anhu,
أُحِلَّ لَكُم لَيلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُم
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;… ” (al-Baqarah: 187)
Demikian juga haram melakukan segala perkara mendorong kepadanya, baik berupa sentuhan, ciuman dan semacamnya. Demikian juga berbicara dengannya dengan kehadiran kaum wanita. ([2])
Adapun ciuman bagi yang berpuasa,
قيل لعَائِشَةَ s فَقُلْنَا لَهَا أَكَانَ رَسُولُ اللهِ r يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ ، وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ
Dikatakan kepada ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha maka kami katakana kepadanya, ‘Apakah dulu Rasulullah bercumbu sementara beliau berpuasa? Maka dia menjawab, ‘Ya, akan tetapi dia adalah orang yang paling kuat dari kalian dalam menjaga birahinya.”([3])
Maka barangsiapa tidak mampu menjaga birahinya, tidak diperbolehkan baginya untuk mencumbui istrinya. Wallahu a’lam.
Adapun mencium yang bukan mahram, maka ada hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Riyadhus Shalihin di mana hadits tersebut muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبِىَّ ﷺ فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللهُ ( أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلِى هَذَا قَالَ « لِجَمِيعِ أُمَّتِى كُلِّهِمْ »
Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi ﷺ dan mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.” (QS. Hud: 114). Laki-laki tersebut lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti itu hanya khusus untuk aku?” Beliau bersabda, “Untuk seluruh umatku.”([4])
Hadits tersebut menunjukkan bahwa mencium wanita yang tidak halal (alias: non mahram) adalah suatu dosa. Termasuk pula bersalaman dengan wanita non mahram termasuk dosa.
Namun lihatlah keadaan pergaulan muda-mudi saat ini, mencium pasangan yang non mahram, gandengan tangan, pelukan, boncengan dianggap hal biasa. Bahkan orang yang tidak punya pasangan seperti itu dianggap tabu. Padahal jelas-jelas nyata, menjalin kasih seperti ini dinilai dosa bahkan termasuk perantara menuju zina yang terlarang. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَقرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا ٣٢
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32).
Dan jelas-jelas perbuatan yang disebutkan di atas termasuk perantara menuju zina.
Perlu juga kita sebutkan tentang fiqih ciuman, sebagaimana berikut ini:
Jenis-Jenis Ciuman
ذَكَرَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ التَّقْبِيْلَ عَلىَ خَمْسَةِ أَوْجَهٍ : قُبْلَةُ الْمَوَدَّةِ لِلْوَلَدِ عَلىَ الْخَدِّ ، وَقُبْلَةُ الرَّحْمَةِ لِوَالِدَيْهِ عَلىَ الرَّأْسِ ، وَقُبْلَةُ الشَّفَقَةِ لِأَخِيْهِ عَلىَ الْجَبْهَةِ ، وَقُبْلَةُ الشَّهْوَةِ لِامْرَأَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ عَلىَ الْفَمِّ ، وَقُبْلَةُ التَّحِيَّةِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ عَلىَ الْيَدِّ، وَزَادَ بَعْضُهُمْ قُبْلَةَ الدِّيَانَةِ لِلْحَجَرِ الْأَسْوَدِ.
Sebagian pakar fikih menyebutkan bahwa ciuman itu ada lima jenis.
- Ciuman cinta, itulah ciuman kepada anak di pipinya.
- Ciuman belas kasihan, itulah ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.
- Ciuman sayang, itulah ciuman kepada saudara di dahinya.
- Ciuman birahi, itulah ciuman kepada istri atau budak perempuan di mulutnya.
- Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang beriman.
Sebagian pakar fikih menyebutkan adanya ciuman jenis keenam yaitu ciuman syar’i yang ditujukan kepada hajar aswad ([5]).
Ciuman yang terlarang
Ciuman untuk wanita ajnabiah (bukan istri dan bukan mahram)
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلىَ عَدَمِ جَوَازِ لَمْسِ وَتَقْبِيْلِ الْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ وَلَوْ لِلْخِطْبَةِ
Seluruh pakar fikih bersepakat bahwa sentuhan dan ciuman kepada wanita ajnabiah adalah terlarang meski dalam rangka meminang wanita tersebut.([6])
Ciuman kepada amrad (laki-laki yang tidak berjenggot)
الْأَمْرَدُ إِذَا لَمْ يَكُنْ صُبَيْحَ الْوَجْهِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الرِّجَالِ فِيْ جَوَازِ تَقْبِيْلِهِ لِلْوَدَاعِ وَالشَّفَقَةِ دُوْنَ الشَّهْوَةِ ، أَمَّا إِذَا كَانَ صُبَيْحَ الْوَجْهِ يُشْتَهَى فَيَأْخُذُ حُكْمَ النِّسَاءِ وَإِنْ اتَّحَدَ الْجِنْسُ ، فَتَحْرُمُ مُصَافَحَتُهُ وَتَقْبِيْلُهُ وَمُعَانَقَتُهُ بِقَصْدِ التَّلَذُّذِ عِنْدَ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ
Jika amrad tersebut bukan ‘baby face’ maka statusnya sebagaimana umumnya laki-laki. Sehingga seorang laki-laki boleh menciumnya dalam rangka mengucapkan kata perpisahan karena hendak bepergian atau dengan maksud mengungkapkan rasa sayang asalkan tanpa birahi.
Namun jika amrad tersebut ‘baby face’ yang menimbulkan syahwat maka statusnya sebagaimana wanita bagi laki-laki yang lain. Sehingga seorang laki-laki tidak boleh berjabat tangan, mencium dan memeluknya jika dengan maksud mencari ‘kenikmatan’. Demikian pendapat mayoritas ulama pakar fikih.([7])
Laki-laki mencium laki-laki, perempuan mencium sesama perempuan
لاَ يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ تَقْبِيْلُ فَمِّ الرَّجُلِ أَوْ يَدِهِ أَوْ شَيْءٍ مِنْهُ ، وَكَذَا تَقْبِيْلُ الْمَرْأَةِ لِلْمَرْأَةِ ، وَالْمُعَانَقَةُ وَمُمَاسَةُ الْأَبْدَانِ ، وَنَحْوُهَا ، وَذَلِكَ كُلُّهُ إِذَا كَانَ عَلىَ وَجْهِ الشَّهْوَةِ ،
Tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk mencium mulut, tangan ataupun anggota badan sesama laki-laki jika dengan syahwat. Demikian pula ciuman, pelukan dan sentuhan badan di antara sesama perempuan jika diiringi syahwat.
وَهَذَا بِلاَ خِلاَفٍ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ لِمَا رُوِيَ « عَنْ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ : نَهَى عَنِ الْمُكَامَعَةِ وَهِيَ : الْمُعَانَقَةُ ، وَعَنِ الْمُعَاكَمَةِ وَهِيَ : التَّقْبِيْلُ »
Hal di atas adalah hukum yang tidak diperselisihkan oleh para ulama fikih dikarenakan ada riwayat dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang pelukan dan ciuman.([8])
أَمَّا إِذَا كَانَ ذَلِكَ عَلىَ غَيْرِ الْفَمِّ ، وَعَلىَ وَجْهِ الْبِرِّ وَالْكَرَامَةِ ، أَوْ لِأَجْلِ الشَّفَقَةِ عِنْدَ اللِّقَاءِ وَالْوَدَاعِ ، فَلاَ بَأْسَ بِهِ
Namun jika ciuman tersebut tidak pada mulut dan sebagai ungkapan penghormatan dan bakti atau untuk mengungkapkan rasa sayang saat bertemu ataupun berpisah maka hukumnya adalah boleh.([9])
Mencium tangan orang yang zalim
صَرَّحَ الْفُقَهَاءُ بِعَدَمِ جَوَازِ تَقْبِيْلِ يَدِ الظَّالِمِ ، وَقَالُوا : إِنَّهُ مَعْصِيَةٌ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ خَوْفٍ ،
Para ulama pakar fikih menegaskan tentang tidak bolehnya mencium tangan orang yang zalim (semisal polisi yang zalim dst, preman dll, pent). Para ulama fikih mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat kecuali dalam kondisi khawatir dizalimi jika tidak mencium tangannya.
قَالَ صَاحِبُ الدُّرِّ : لاَ رُخْصَةَ فِيْ تَقْبِيْلِ الْيَدِ لِغَيْرِ عَالِمٍ وَعَادِلٍ ، وَيُكْرَهُ مَا يَفْعَلُهُ الْجُهَّالُ مِنْ تَقْبِيْلِ يَدِ نَفْسِهِ إِذَا لَقِيَ غَيْرَهُ ، وَكَذَلِكَ تَقْبِيْلُ يَدِ صَاحِبِهِ عِنْدَ اللِّقَاءِ إِذَا لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ عَالِمًا وَلَا عَادِلًا ، وَلَا قَصْدَ تَعْظِيْمِ إِسْلاَمِهِ وَلَا إِكْرَامِهِ .
Penulis kitab ad-Durr mengatakan, ‘Tidak ada keringanan dalam mencium tangan seorang yang bukan ulama dan bukan orang yang shalih. Makruh hukumnya apa yang dilakukan oleh orang-orang awam yang mencium tangannya sendiri ketika berjumpa dengan orang lain. Demikian pula makruh hukumnya mencium tangan teman sendiri ketika berjumpa jika teman tersebut bukanlah seorang ulama ataupun orang yang shalih dan bukan karena maksud dengan menghormatinya atau menghormati statusnya sebagai seorang muslim.([10])
Mencium tanah di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan.
تَقْبِيْلُ الْأَرْضِ بَيْنَ يَدَيِ الْعُلَمَاءِ وَالْعُظَمَاءِ حَرَامٌ، وَالْفَاعِلُ وَالرَّاضِي بِهِ آثِمَانِ، لِأَنَّهُ يُشْبِهُ عِبَادَةَ الْوَثَنِ، وَهَلْ يَكْفُرُ؟ إِنْ عَلَى وَجْهِ الْعِبَادَةِ وَالتَّعْظِيْمِ كُفْرٌ، وَإِنْ عَلَى وَجْهِ التَّحِيَّةِ لَا، وَصَارَ آثِمًا مُرْتَكِبًا لِلْكَبِيْرَةِ، كَمَا صَرَحَ بِهِ صَاحِبُ الدُّرِّ
Mencium (baca: meletakkan mulut) di tanah (bukan, sujud-pent) di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan hukumnya haram. Pelaku dan orang yang rela diperlakukan demikian itu berdosa karena perbuatan ini menyerupai penyembahan terhadap berhala.
Apakah orang yang melakukannya menjadi kafir?
Perlu rincian:
- Jika dalam rangka beribadah dan mengagungkkan orang yang ada di hadapannya maka pelakunya menjadi kafir.
- Jika dengan maksud memberikan penghormatan maka tidak menjadi kafir, namun pelakunya berdosa karena telah melakukan dosa besar.
Rincian ini ditegaskan oleh penulis kitab ad-Durr.([11])([12])
(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Rafats artinya mengeluarkan Perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh.
([2]) Tafsir Ibnu Katsir, I/543-544
([4]) HR. Bukhari (526) dan Muslim (2763)
([5]) ad-Durr al-Mukhtar yang dicetak bersama Hasyiah Ibnu Abidin 5/246 dan al-Adab as-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan 272
([6]) Ibnu Abidin 5/233, 234 dan 237, Jawahir al Iklil 1/275, al Qalyubi 3/208, Nihayah al-Muhtaj 6/190, Kasyaf al-Qana’ 5/10 dan al-Mughni 6/553 dan halaman selanjutnya
([7]) Ibnu Abidin 5/233, al-Zarqani 1/167, Jawahir al-Iklil 1/20, 275, al-Jamal 4/126, Hasyiah al-Qalyubi 2/213 dan Kasyaf al-Qana’ 5/12-15
([8]) Hadits di atas disebutkan oleh al-Harawi dalam Gharib al-Hadits 1/171 dari ‘Iyyasy bin Abbas secara mursal
([9]) Ibnu Abidin 5/244, 246, al-Binayah ‘ala al-Hidayah 9/326, 327, Jawahir al-Iklil 1/20, al-Qolyubi 3/213 dan Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj 4/126
([10]) ad-Durr al-Mukhtar dan Hasyiah Ibnu Abidin 5/245, 246, al-Adab as-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan Tuhfah al-Ahwadzi 7/527
([11]) ad-Durr al-Mukhtar yang dicetak bersama Ibnu Abidin 5/246 dan al-Binayah Syarh al-Hidayah 9/326 dan 327
([12]) Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah juz 13 hal 129-131, cetakan kelima 1427 H, terbitan Depag Kuwait.