Penghapus-Penghapus Dosa Dari al-Quran al-Karim (13) Kafarah Yang Disebutkan Di Dalam Al-Qur`an

 

Dengannya dosa-dosa akan dihapus.

 

  1. Bersedekah dengan jiwa, luka, gigi dan apapun yang menimpanya.

 

Allah ﷻ berfirman,

 

وَكَتَبنَا عَلَيهِم فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفسَ بِالنَّفسِ وَٱلعَينَ بِالعَينِ وَٱلأَنفَ بِالأَنفِ وَٱلأُذُنَ بِالأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِالسِّنِّ وَٱلجُرُوحَ قِصَاصٞۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥۚ وَمَن لَّم يَحكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥

 

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (QS. al-Maidah (5): 45)

 

[Maka barangsiapa bersedekah dengan (melepaskan hak qishas)nya], yaitu mensedekahkan qishash pada jiwa (yang telah membunuh), dan selainnya dari (qishash terhadap) anggota-anggota tubuh dan luka-luka dengan memberikan maaf kepada terdakwa, dan sebelumnya telah di tetapkan haq (qishash) untuknya.

 

[Maka ia adalah kaffarah baginya] yaitu sebagai kaffarah bagi terdakwa, dikarenakan anak Adam telah memaafkan haknya. Sementara Allah adalah Dzat yang lebih berhak dan utama untuk memaafkan hak-Nya. Juga sebagai kaffarah bagi orang yang memaafkan. Dikarenakan sebagaimana dia memberikan maaf kepada terdakwa yang telah berbuat jahat kepadanya, atau kepada orang yang berkaitan dengannya, maka sesungguhnya Allah akan memaafkan ketergelinciran, dan kejahatannya.”([1])

 

  1. Kaffarah sumpah.

 

Allah ﷻ berfirman,

 

لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللهُ بِاللَّغوِ فِيٓ أَيمَٰنِكُم وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلأَيمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِن أَوسَطِ مَا تُطعِمُونَ أَهلِيكُم أَو كِسوَتُهُم أَو تَحرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّم يَجِد فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيمَٰنِكُم إِذَا حَلَفتُمۡۚ وَٱحفَظُوٓاْ أَيمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللهُ لَكُم ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُم تَشكُرُونَ ٨٩

 

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. al-Maidah (5): 89)

 

[Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)] yaitu pada sumpah-sumpah kalian yang muncul dalam bentuk main-main; yaitu sumpah yang penyumpahnya bersumpah tanpa niat dan tujuan. Atau dia membuatnya dengan menyangka benarnya dirinya, lalu tampak bahwa dirinya berbeda dengan yang demikian.

 

[tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja] yaitu dengan sumpah yang kalian tekad kuatkan, dan yang hati-hati kalian mengikatnya. Sebagaimana firman Allah di dalam ayat lain,

 

وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَت قُلُوبُكُمۡۗ

 

… tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu…” (QS. al-Baqarah (2): 225)

 

[Maka kaffarahnya] yaitu kaffarah sumpah yang telah kalian buat dengan maksud tujuan kalian adalah [memberi makan sepuluh orang miskin].

 

Dan makanan tersebut adalah [yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka] yaitu pakaian sepuluh orang miskin. Dan pakaian tersebut adalah pakaian yang sah (dipakai) di dalam shalat [atau memerdekakan seorang budak] yaitu memerdekakan budak beriman sebagaimana hal ini diikat di selain tempat ini. maka kapan saja dia melakukan salah satu dari ketiga hal ini, maka terurailah sumpahnya.

 

[Barang siapa tidak menemukan] salah satu dari ketiga hal ini [maka kaffaratnya puasa selama tiga hari, yang demikian itu] yang tersebut adalah [kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)] ia akan menebus dan menghapusnya, serta menghalangi dari dosa.

 

[Dan peliharalah sumpah-sumpah kalian] dari bersumpah palsu atas nama Allah, dan dari banyak bersumpah. Dan jika kalian bersumpah, maka jagalah sumpah itu dari melanggarnya. Kecuali jika melanggar sumpah tersebut adalah lebih baik. Maka kesempurnaan pemeliharaan sumpah adalah melakukan kebaikan, dan jangan menjadikan sumpah sebagai oposisi (yang menghalangi untuk melakukan) kebaikan tersebut.

 

[Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya] yang telah menjelaskan yang halal dari yang haram, yang telah menjelaskan hukum-hukum [agar kamu bersyukur (kepada-Nya)] yaitu kepada Allah, dimana Dia telah mengajari kalian perkara yang kalian belum mengetahuinya. Maka wajib bagi setiap hamba untuk bersyukur kepada Allah ﷻ atas segala anugerah yang Allah berikan kepada mereka, berupa pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i dan penjelasannya.”([2])

 

  1. Kaffarah membunuh hewan buruan.

 

Allah ﷻ berfirman,

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقتُلُواْ ٱلصَّيدَ وَأَنتُم حُرُمٞۚ وَمَن قَتَلَهُۥ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءٞ مِّثلُ مَا قَتَلَ مِنَ ٱلنَّعَمِ يَحكُمُ بِهِۦ ذَوَا عَدلٍ مِّنكُم هَديًا بَٰلِغَ ٱلكَعبَةِ أَو كَفَّٰرَةٞ طَعَامُ مَسَٰكِينَ أَو عَدلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمرِهِۦۗ عَفَا ٱللهُ عَمَّا سَلَفَۚ وَمَن عَادَ فَيَنتَقِمُ ٱللهُ مِنهُۚ وَٱللهُ عَزِيزٌ ذُو ٱنتِقَامٍ ٩٥

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. al-Maidah (5): 95)

 

“… Allah ﷻ telah menjelaskan dengan terang tentang larangan membunuh hewan buruan pada saat berihrah. Lalu Dia berfirman [Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram] yaitu dalam keadaan berihram dalam haji dan umrah. Dan larangan membunuhnya mencakup larangan dari pembukaan-pembukaan pembunuhan, bersekutu di dalam pembunuhan, menunjukkan hewan buruan, dan membantu membunuhnya. Hingga bahwa termasuk di antara kesempurnaan yang demikian adalah bahwa Dia melarang orang yang berihram dari memakan apa yang telah di bunuh atau diburu untuknya. Semuanya ini adalah bentuk pengagungan bagi ibadah (manasik) yang agung ini. Yaitu bahwa haram bagi orang yang berihram untuk membunuh dan berburu hewan yang halal baginya sebelum ihram.

 

Dan firman-Nya, [Dan barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja] yaitu membunuh hewan buruan tersebut dengan sengaja [maka] wajib baginya [dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya] yaitu berupa onta, sapi, ataupun kambing. Maka dilihatlah apa yang menyerupai sesuatu dari yang demikian. Maka wajib baginya membayar denda semisalnya, dia menyembelihnya, dan bersedekah dengannya. Sementara pertimbangan yang semisal tersebut [menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sekalian] yaitu dua orang yang adil, yang keduanya mengetahui hukum tersebut, serta mengetahui sisi keserupaan hewan-hewan tersebut, sebagaimana telah diperbuat oleh para sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Dimana mereka memutuskan kaffarah burung merpati adalah seekor kambing, burung onta dengan seekor onta, sapi liar –dengan segala jenisnya- dengan seekor sapi. Demikian seterusnya; maka segala sesuatu yang serupa dengan hewan ternak, maka padanya ada denda semisalnya. Maka jika tidak menyerupai sedikitpun dari hewan ternak, maka padanya ada denda harganya. Sebagaimana ia adalah kaidah di dalam harta-harta yang dihilangkan.

 

Dan hewan hadyu haruslah menjadi [sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah] yaitu yang disembelih di tanah haram.

 

[Atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin] yaitu bahwa kaffarah denda tersebut adalah memberi makan orang-orang miskin, yaitu menjadikan penukar yang semisal dari hewan ternak dengan memberi makan orang-orang miskin.

 

Banyak di antara para ulama berkata, “Denda tersebut berlaku, lalu membeli makanan dengan harga (hewan denda tersebut) kemudian memberi makan setiap orang miskin dengan satu mud burr (sejenis gandum) atau setengah sha’ (dua mud) dari selain burr. [Atau membayar seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu dengan puasa] yaitu berpuasa sehari untuk setiap orang miskin. [Agar ia merasakan] kewajiban denda yang disebutkan atasnya [akibat buruk dari perbuatannya]. [Dan barangsiapa yang kembali] setelah itu, [niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa].

 

Allah menentukan hal tersebut bagi orang yang sengaja membunuh hewan buruan padahal bahwa denda itu berlaku bagi orang yang sengaja dan yang tidak sengaja, sebagaimana halnya kaidah syari’at bahwa orang yang menghilangkan jiwa dan harta-harta yang terjaga maka ia menanggungnya dalam keadaan apapun jika penghilangannya tersebut tanpa hak, tiadalah hal tersebut Dia lakukan melainkan karena Allah telah menetapkan adanya denda, hukuman dan balasan (siksa), dan ini adalah untuk yang sengaja.

 

Adapun orang yang salah (tidak sengaja), maka tidak ada hukuman yang dia tanggung, namun wajib denda atasnya. Ini adalah jawaban jumhur terhadap batasan yang telah disebut oleh Allah ﷻ ini.

 

Sementara satu kelompok dari kalangan para ulama berpandangan pengkhususan denda bagi orang yang sengaja adalah zhahirnya ayat. Dan perbedaan antara hal ini dengan denda di dalam ketidak sengajaan penghilangan jiwa dan harta-harta di dalam tempat adalah bahwa hak tersebut di dalamnya adalah milik Allah. Maka sebagaimana tidak ada dosa (padanya), maka tidak ada denda karena penghilangannya terhadap jiwa manusia dan harta mereka (tanpa ketidak sengajaan).

 

Dan tatkala hewan buruan tersebut mencakup hewan buruan darat dan laut, maka Allah mengecualikan hewan buruan laut, lantas Dia berfirman,

 

أُحِلَّ لَكُم صَيدُ ٱلبَحرِ وَطَعَامُهُۥ

 

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut([3]) dan makanan (yang berasal) dari laut([4])…” (QS. al-Maidah (5): 96)([5])

 

  1. Kaffarah Zhihar.

 

Allah ﷻ berfirman,

 

وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِم ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُم تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللهُ بِمَا تَعمَلُونَ خَبِيرٌ ٣ فَمَن لَّم يَجِد فَصِيَامُ شَهرَينِ مُتَتَابِعَينِ مِن قَبلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّم يَستَطِع فَإِطعَامُ سِتِّينَ مِسكِينًاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤمِنُواْ بِاللهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلكَ حُدُودُ ٱللهِ وَلِلكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤

 

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. al-Mujaadilah (58): 3-4)

 

[Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan], para ulama berbeda pendapat tentang makna al-‘uud (kembali); maka dikatakan maknanya adalah bertekad untuk menggauli istri yang telah dia zhihar, dan bahwa hanya dengan sekedar tekad kuatnya, maka wajib baginya untuk membayar kaffarah yang telah disebutkan. Dan yang menunjukkan akan hal ini adalah bahwa Allah ﷻ telah menyebut di dalam kaffarah bahwa ia dilakukan sebelum menggaulinya. Dan yang demikian itu ada dengan hanya sekedar tekad kuat. Dikatakan juga maknanya adalah hakikat berhubungan badan itu sendiri. Dan yang menunjukkannya adalah bahwa Allah ﷻ berfirman, [kemudian mereka kembali kepada apa yang telah mereka ucapkan] dan yang telah mereka ucapkan adalah hubungan suami istri.

 

Dan pada masing-masing dari kedua pendapat tersebut, jika dia mendapati keinginan untuk kembali (menggauli istrinya), maka jadilah keberlakuan kaffarah bagi pengharaman tersebut dengan [memerdekakan seorang budak] yang beriman sebagaimana telah diikat di dalam ayat lain; baik laki-laki maupun perempuan. Dengan syarat budak tersebut selamat dari aib-aib yang merugikan pekerjaan.

 

[Sebelum kedua suami isteri itu bercampur] yaitu sang suami harus meninggalkan persetubuhan dengan istrinya yang telah dia zhihar hingga ia membayar kaffarah dengan memerdekakan seorang budak.

 

[Yang demikian itu] adalah hukum yang telah Kami sebutkan untuk kalian [dengannya kalian diberi nasihat] yaitu Dia jelaskan untuk kalian hukum-hukum-Nya bersamaan dengan ancaman yang dikaitkan dengannya. Dikarenakan bahwa makna wa’zh (mau’izhah) adalah penyebutan hukum bersamaan dengan dorongan dan ancaman. Maka orang yang ingin menzhihar, jika dia ingat bahwa wajib baginya untuk memerdekakan seorang budak, maka dia akan menahan dirinya darinya. [Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan] kemudian dia akan membalas setiap orang yang beramal dengan amalnya sendiri.

 

[Barangsiapa yang tidak mendapatkan] budak yang dia merdekakan, dengan dia tidak bisa mendapatkannya atau [tidak] bisa mendapatkan harga belinya [maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa] berpuasa [(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin].

 

Bisa jadi dengan memberi makan mereka dari makanan pokok negerinya yang bisa mencukupi mereka. Sebagaimana ucapan banyak di antara para ahli tafsir. Bisa jadi dengan memberi makan satu mud burr (jenis gandum) untuk setiap orang miskin; atau setengah sha’ dari selain burr, dari bahan makanan yang sah di dalam zakat fithr, sebagaimana hal itu adalah ucapan satu kelompok yang lain.

 

Hukum tersebut yang telah kami terangkan dan jelaskan untuk kalian [supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya] dan yang demikian itu dengan menetapi hukum ini dan hukum-hukum lain, serta mengamalkannya. Dikarenakan menetapi hukum-hukum Allah dan beramal dengannya adalah bagian dari iman [bahkan ia adalah tujuan] yang dengannya ia termasuk diantara perkara yang bisa menambah keimanan, menyempurnakannya, dan menumbuhkannya.

 

[Dan itulah hukum-hukum Allah] yang melarang dari terjerumus ke dalamnya, maka wajib untuk tidak dilanggar dan diremehkan.

 

[Sementara bagi orang-orang kafir adalah adzab yang pedih], dan di dalam ayat-ayat ini terdapat sejumlah hukum;

 

Diantaranya, kelembutan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, dan perhatian-Nya kepada mereka, dimana Dia menyebut keluhan wanita yang terkena musibah ini, lalu menghilangkan, dan mengangkat musibah itu darinya. Bahkan mengangkat musibah tersebut dengan hukum umum-Nya, bagi setiap orang yang diuji dengan semisal kasus ini.

 

Diantaranya, bahwa zhihar dikhususkan dengan mengharamkan istri; dikarenakan Allah ﷻ berfirman [dari istri-istri mereka], maka seandainya dia haramkan budak wanitanya, maka [yang demikian itu] bukanlah zhihar. Bahkan ia termasuk dari jenis pengharaman makanan dan minuman. Wajib baginya untuk membayar kaffarah sumpah saja.

 

Diantaranya, bahwa tidak sah menzhihar wanita yang belum dia nikahi; dikarenakan ia tidak masuk di dalam kategori istri-istrinya saat zhihar. Sebagaimana tidak sah menceraikannya; sama saja dia menunaikannya atau menggantungnya.

 

Diantaranya, bahwa zhihar adalah perkara yang diharamkan, dikarenakan Allah telah menyebutnya sebagai sebuah kemunkaran [dari ucapan] dan kedustaan.

 

Diantaranya, peringatan Allah terhadap sisi hukum dan hikmahnya, dikarenakan Allah ﷻ berfirman [tidaklah mereka (para istri-istri tersebut) adalah ibu-ibu mereka].

 

Diantaranya, bahwasannya dimakruhkan bagi seorang laki-laki untuk memanggil istrinya, dan menyebutnya dengan nama mahram-mahramnya; seperti ucapannya ya ummi, ya ukhti dan semacamnya; dikarenakan yang demikian itu menyerupai mahramnya.

 

Diantaranya, bahwa kaffarah hanyalah wajib dengan kembali (berkeinginan untuk menggauli), saat yang telah menzhihar mengatakannya, berbeda dengan dua pendapat yang terdahulu, tidak hanya dengan sekedar zhihar.

 

Diantaranya, bahwa di dalam kaffarah pembebasan budak, boleh dengan yang kecil, besar, laki-laki dan perempuan, karena kemutlakan ayat tersebut.

 

Diantaranya, adalah wajib mengeluarkan kaffarah tersebut jika ia adalah pemerdekaan seorang budak, atau puasa, sebelum persetubuhan. Sebagaimana Allah ﷻ telah mengikatnya; berbeda dengan pembayaran kaffarah dengan pemberian makanan; maka diperbolehkan melakukan persetubuhan di tengah-tengahnya.

 

Diantaranya, bahwa barangkali hikmah di dalam kewajiban kaffarah sebelum persetubuhan adalah bahwa yang demikian itu lebih bisa mengajak untuk mengeluarkan kaffarah tersebut; dikarenakan sesungguhnya dia jika telah merindukan jima’, dan dia mengetahui bahwa tidak memungkinkannya untuk melakukannya kecuali setelah membayar kaffarah, maka dia akan bersegera untuk mengeluarkannya.

 

Diantaranya, bahwa harus memberi makan enam puluh orang miskin; maka seandainya ia kumpulkan makanan enam puluh orang miskin, lalu membayarkannya kepada satu orang atau lebih kurang dari enam puluh orang miskin, maka yang demikian tidak sah. Dikarenakan Allah ﷻ berfirman [Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin].([6])

 

(Diambil dari kitab Mukaffiraatu adz-Dzunuubi wal Khathaayaa Wa Asbaabul Maghfirati Minal Kitaabi Was Sunnah oleh DR. Sa’id bin ‘Aliy bin Wahf al-Qahthaniy, alih bahasa oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

_____________________________________

Footnote:

([1]) Lihat Taisiiru al-Kariim ar-Rahmaan, hal. 257.

([2]) Lihat Taisiiru al-Kariim ar-Rahmaan, hal. 268.

([3]) Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Termasuk juga dalam pengertian laut disini Ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya. (Terjemah DEPAG RI)-pent

([4]) Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya. (Terjemah DEPAG RI)-pent

([5]) Lihat Taisiiru al-Kariim ar-Rahmaan, hal. 270-271.

([6]) Lihat Taisiiru al-Kariim ar-Rahmaan, hal. 996.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *