Tiga Orang Yang Dicintai Allah

Dari Abu Dzar I, dia berkata, Rasulullah bersabda,
[arabic-font] «ثَلَاثَةٌ يُحِبُّهُمْ اللَّهُ: الرَّجُلُ يَلْقَى الْعَدُوَّ فِي الْفِئَةِ فَيَنْصِبُ لَهُمْ نَحْرَهُ حَتَّى يُقْتَلَ أَوْ يُفْتَحَ لِأَصْحَابِهِ، وَالْقَوْمُ يُسَافِرُونَ فَيَطُولُ سُرَاهُمْ حَتَّى يُحِبُّوا أَنْ يَمَسُّوا الْأَرْضَ، فَيَنْزِلُونَ، فَيَتَنَحَّى أَحَدُهُمْ، فَيُصَلِّي حَتَّى يُوقِظَهُمْ لِرَحِيلِهِمْ، وَالرَّجُلُ يَكُونُ لَهُ الْجَارُ يُؤْذِيهِ جِوَارُهُ، فَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُ حَتَّى يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا مَوْتٌ أَوْ ظَعْنٌ»[/arabic-font] “Ada tiga golongan orang yang Allah mencintai mereka; seorang laki-laki yang menghadapi musuh di dalam satu pasukan, lau dia teguh dalam menghadapi mereka hingga dia terbunuh, atau dimenangkan bagi sahabat-sahabatnya; suatu kaum yang bepergian, lalu menjadi panjanglah perjalanan malam mereka hingga mereka senang untuk tidur dan beristirahat, kemudian mereka turun, lalu salah seorang diantara mereka menjauh dari yang lain, kemudian shalat hingga membangunkan mereka untuk (melanjutkan) perjalanan mereka; dan seorang laki-laki yang memiliki tetangga yang tetangganya itu menyakiti (mengganggunya), lalu dia bersabar atas gangguannya hingga kematian atau safar (perjalanan) memisahkan diantara mereka berdua.”
(Hadits yang agung kedudukannya ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, dan at-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabiir miliknya)

Sabda beliau fayathuulu suraahum, as-suraa (perjalanan) yang tidak dilakukan kecuali di malam hari. Adapun ayat [أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً] “memperjalankan hamba-Nya di waktu malam” adalah untuk menegaskan (perjalanan tersebut).
[يُفَرِّقَ بَيْنَهُمَا مَوْتٌ أَوْ ظَعْنٌ] Zha’nun, yaitu perjalanan salah satu dari keduanya.

Hadits ini merupakan dalil atas penetapan sifat mahabbah bagi Allah .
Ini termasuk perkara yang tidak boleh bagi seorangpun untuk mengingkarinya. Maka Allah disifati dengan apa yang Dia telah mensifati diri-Nya sendiri, dan dengan apa yang Rasul-Nya sifatkan untuk-Nya, dan termasuk diantara sifat-sifat ini adalah al-mahabbah.

Allah berfirman,
[arabic-font] وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥[/arabic-font] “… dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah (2): 195)

Allah berfirman,
[arabic-font] وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٩[/arabic-font] “… dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. al-Hujuraat (49): 9)

Dia berfirman,
[arabic-font] فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧[/arabic-font] “… Maka selama mereka Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah (9): 7)

Dia berfirman,
[arabic-font] إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢[/arabic-font] “… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. al-Baqarah (2): 222)

Allah berfirman,
[arabic-font] قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ[/arabic-font] “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintaimu…” (QS. Ali Imraan (3): 31)

Dia berfirman,
[arabic-font] فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ[/arabic-font] “… Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya,…” (QS. al-Maaidah (5): 54)

Dia berfirman,
[arabic-font] إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِهِۦ صَفّٗا كَأَنَّهُم بُنۡيَٰنٞ مَّرۡصُوصٞ ٤[/arabic-font] “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. as-Shaff (61): 4)

Allah berfirman,
[arabic-font] وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلۡوَدُودُ ١٤[/arabic-font] “Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih (Yang Maha Mencintai)” (QS. al-Buruuj (85): 14)

Yang mengingkari sifat ini adalah orang yang mengingkarinya dari kalangan Mu’aththilah (ahli ta’thiil), dimana mereka berkata, ‘Sesungguhnya sifat mahabbah tidak mungkin digambarkan kecuali antara perkara-perkara yang semisal! Dan ini adalah salah, dikarenakan Allah berfirman di dalam Kitab-Nya,
[arabic-font] كَلَّاۖ بَل لَّا تُكۡرِمُونَ ٱلۡيَتِيمَ ١٧ وَلَا تَحَٰٓضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ ١٨ وَتَأۡكُلُونَ ٱلتُّرَاثَ أَكۡلٗا لَّمّٗا ١٩ وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا ٢٠[/arabic-font] “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi Makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. al-Fajr (89): 17-20)

Dan mereka menafsirkannya dengan iradah (keinginan) memberikan pahala.
Sebagian kelompok mereka berkata, ‘Menetapkan sifat mahabbah mengakibatkan perkataan tasybiih (menyerupakan Allah), sementara Allah tidak menyerupai makhluknya!

Jawabnya adalah, apakah makhluk ingin (iradah) pahala atau tidak? Jika mereka menjawab, ‘Tidak’, maka mereka telah berdusta. Dan jika mereka menjawab, ‘Ya’, maka kami katakan Allah menginginkannya. Bukankah hal ini menunjukkan penyerupaan. Maka mereka akan berkata, ‘Keinginan yang bukan keinginan.’ Maka kami akan katakan kepada mereka, ‘Ucapkanlah (hal itu) kepada sifat mahabbah, akan tetapi mahabbah selain mahabbah. Maka perbedaan diantara sifat-sifat kita dan sifat-sifat Rabb kita adalah seperti perbedaan antara dzat kita dengan dzat-Nya .

Atsar yang menjadi tempat titian yang mengharuskan keimanan kita adalah bahwa Rabb kita cinta dilakukannya perbuatan-perbuatan yang Allah mencintai pelakunya. Maka sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai seorang hamba, Dia akan menjaga anggota tubuhnya. Allah berfirman di dalam hadits qudsi,
[arabic-font] «… فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ…»[/arabic-font] “… maka jika Aku mencintainya, jadilah Aku sebagai pendengarannya yang dia mendengar dengannya; dan penglihatannya yang dengannya dia melihat; dan tangannya yang dengannya dia menyergap; dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Dan jika dia meminta kepada-Ku pastilah Kuberikan kepadanya permintaannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, maka pastilah Aku akan memberikan perlindungan kepadanya…” (HR. al-Bukhari)

Yang disebut pertama kali di dalam tsulatsiyah ini adalah, seorang laki-laki yang menghadapi musuh di dalam satu pasukan, lau dia teguh dalam menghadapi mereka hingga dia terbunuh, atau dimenangkan bagi sahabat-sahabatnya.
Yaitu dia berperang di jalan Allah, lalu dia bersabar dan tidak melarikan diri, hingga dia terbunuh atau diberikan kemenangan.

Dan ini adalah sebesar-besarnya keutamaan, (yaitu) salah seorang diantara kita terbunuh di jalan Allah.
Allah berfirman,
[arabic-font] وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ ١٦٩ فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَيَسۡتَبۡشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمۡ يَلۡحَقُواْ بِهِم مِّنۡ خَلۡفِهِمۡ أَلَّا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ١٧٠ ۞يَسۡتَبۡشِرُونَ بِنِعۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَضۡلٖ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٧١[/arabic-font] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam Keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imraan (3): 169-171)

Dari Masruuq, dia berkata, ‘Kami bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud tentang ayat ini:
[arabic-font] وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ ١٦٩[/arabic-font] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali ‘Imraan (3): 169)

Maka dia berkata, ‘Adapun kami, maka sesungguhnya kami telah bertanya tentangnya, maka beliau  bersabda,
[arabic-font] «أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اطِّلَاعَةً فَقَالَ هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا قَالُوا أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا»[/arabic-font] “Roh-roh mereka berada di tembolok burung-burung hijau yang memiliki sarang-sarang yang tergantung di ‘Arsy, dia akan pergi mencari makan ke sorga semaunya, kemudian dia akan bernaung di sarang-sarang tersebut. Lalu Rabb mereka melihat kepada mereka seraya berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab, ‘Sesuatu apakah yang akan kami inginkan, sementara kami bisa bebas pergi ke sorga semau kami?’ Maka Tuhan mereka melakukan hal itu tiga kali terhadap mereka. Manakala mereka melihat bahwa mereka tidak akan dibiarkan dari ditanya, mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, kami ingin agar roh-roh kami dikembalikan ke jasad-jasad kami hingga kami terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.’ Maka tatkala Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki hajat, ditinggallah mereka.’ (HR. Muslim)

Kedua, seorang laki-laki yang panjangnya perjalanan tidak mengecualikan dia dari menghidupkan malamnya (shalat malam).
Laki-laki ini sudah terbiasa shalat malam, dia tidak bisa meninggalkannya, dan jiwanya tidak merasa tenang dengan (meninggalkan)nya. Sesungguhnya Nabi telah mengajarkan kepada kita bahwa kecapekan, dan kelelahan bisa menjadi penghalang dari mengerjakannya, akan tetapi dia, tidaklah mereka mengistirahatkan perjalanan mereka melainkan dia berdiri dihadapan Allah, bermunajat, dan berdo’a (kepada-Nya).

Sesungguhnya diantara perkara yang bisa memotivasi untuk bisa sampai kepada kedudukan ini adalah memperhatikan hadits-hadits yang dengannya Nabi mendorong shalat malam.

Maka barangsiapa mempertimbangkannya, akan mudah baginya untuk melestarikanya, dan tidak akan meninggalkannya betapapun urusannya.
Perhatikanlah firman Allah ,
[arabic-font] تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمۡ عَنِ ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّهُمۡ خَوۡفٗا وَطَمَعٗا وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ١٦ فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٞ مَّآ أُخۡفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعۡيُنٖ جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٧[/arabic-font] “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. as-Sajdah (32): 16-17)

Yaitu, terangkat, saling menjauh, dan jafa` diantara manusia adalah taba’ud, saling menjauh.

Maka jiwa salah seorang diantara mereka menjadi tidak tenang dengan berbaring diatas ranjang mereka, maka jadilah ada jarak jauh antara mereka dengan ranjang mereka.

Orang ketiga adalah orang yang bersabar atas gangguan tetangganya.
Nabi mendorong untuk bersabar atas gangguan tetangga adalah hanya karena agungnya hak tetangga.
Disebutkan di dalam as-Shahihain dari Abu Hurairah I, bahwa Rasulullah bersabda,
[arabic-font] «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»[/arabic-font] “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyakiti tetangganya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik, atau (kalau tidak bisa) hendaknya dia diam.”

Nabi bersabda,
[arabic-font] «وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ» قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ»[/arabic-font] “Demi Allah, tidak beriman; demi Allah tidak beriman; demi Allah, tidak beriman.” Dikatakan kepada beliau, ‘Siapa ya Rasulullah?” beliau bersabda, ‘Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.”

Beliau bersabda,
[arabic-font] «أَوَّلُ خَصْمَيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جَارَانِ»[/arabic-font] “Dua orang yang pertama kali akan berseteru pada hari kiamat adalah dua tetangga.” (HR. Ahmad)

Telah datang kepada Rasulullah seraya mengadukan tetangganya, maka beliau bersabda,
[arabic-font] اطْرَحْ مَتَاعَكَ عَلَى الطَّرِيقِ فَطَرَحَهُ فَجَعَلَ النَّاسُ يَمُرُّونَ عَلَيْهِ وَيَلْعَنُونَهُ فَجَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا لَقِيتُ مِنَ النَّاسِ قَالَ: «وَمَا لَقِيتَ مِنْهُمْ؟» قَالَ: يَلْعَنُونِي قَالَ: «قَدْ لَعَنَكَ اللهُ قَبْلَ النَّاسِ» قَالَ: فَإِنِّي لَا أَعُودُ فَجَاءَ الَّذِي شَكَاهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: «ارْفَعْ مَتَاعَكَ فَقَدْ كُفِيتَ»[/arabic-font] “Lemparkan barang-barangmu ke jalan.’ Maka diapun melemparkan barang-barangnya ke jalan, lalu jadilah manusia yang melewatinya melaknatnya (orang yang diadukan kepada Nabi). Maka dia (yang diadukan) datang kepada Nabi seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, apa yang saya temui dari manusia.’ Beliau bersabda, ‘Dan apa yang Engkau temui dari mereka?’ Dia berkata, ‘Mereka melaknat saya.’ Beliau bersabda, ‘Sungguh, Allah telah melaknatmu sebelum manusia (melaknatmu).’ Maka dia berkata, ‘Maka sesungguhnya aku tidak akan mengulanginya.’ Lalu dia datang kepada orang yang mengadukannya kepada Nabi seraya berkata kepadanya, ‘Angkatlah (bereskanlah) barang-barangmu, sungguh Engkau telah dicukupi.’ (HR. at-Thabraniy)

(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid I, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *