Tiga Hak Muslim Atas Muslim Yang Lain

Dari Abu Hurairah I, dia berkata, ‘Rasulullah bersabda,

«ثَلَاثٌ كُلُّهُنَّ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ: عِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ، إِذَا حَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ»

“Tiga perkara, semuanya adalah hak (yang harus ditunaikan) oleh setiap muslim; menjenguk orang yang sakit, mengikuti jenazah, dan mentasymit (mengucapkan yarhamukallah) kepada orang yang bersin jika dia bertahmid (mengucapkan Alhamdulillah) memuji Allah .” (HR. Ahmad)

Perkara pertama, menjenguk orang sakit.
Al-‘Iyadah secara istilah adalah ziyarah (berkunjung) dan iftiqad (mencari-cari yang tidak terlihat, atau tidak hadir). Adapun al-mariidh adalah orang yang tersifati dengan satu penyakit.

Imam Abu ‘Abdillah al-Bukhari telah telah membuat interprestasi di dalam Shahihnya dengan ucapannya, Bab Wujuubu ‘Iyaadatil Mariidh (Bab Wajibnya Menjenguk Orang Sakit).

Ibnu Hajar V berkata, ‘Al-Bukhari telah menyatakan wajibnya atas zhahirnya perintah mengunjungi yang sakit. Ibnu Baththal berkata, ‘Perintah wajib tersebut berpotensi untuk dibawa kepada makna wajib kifayah, seperti memberi makan orang yang kelaparan, dan membebaskan budak, dan berpotensi juga untuk dibawa kepada makna sunnah karena adanya dorongan untuk saling menyambung (hubungan) dan perekatan hati.” (Fathul Bari, X/117)

Terdapat beberapa adab yang selayaknya diperhatikan pada saat menjenguk orang sakit; diantaranya adalah:
1. Mematuhi adab-adab umum untuk berkunjung, seperti mengetuk pintu dengan lembut, tidak menyamarkan diri (mengendap-endap), menundukkan pandangannya, dan tidak menghadap pintu saat meminta idzin (masuk).

2. Hendaknya kunjungan tersebut pada waktu tepat (layak), tidak pada waktu tengah hari di musim panas, misalkan.

3. Hendaknya kunjungan tersebut dilakukan setelah tiga hari dari sakitnya. Dan dikatakan, disunnahkan sejak dari awal sakit. Dan pendapat jumhur adalah tidak adanya pengikatan dengan zaman tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar, dan pendapat tersebutlah yang hak, insyaallah.

4. Hendaknya penjenguk mendekat kepada si sakit, duduk di sisi kepalanya, meletakkan tangannya diatas kening si sakit lalu bertanya kepadanya tentang kondisinya dan tentang apa yang diinginkannya.

5. Hendaknya penjengukan tersebut dilakukan secara berkala, yaitu menjenguk di suatu hari setelah jengukan hari yang lain, dan barangkali perkara tersebut akan berbeda dengan adanya perbedaan kondisi, sama saja hal itu berkaitan dengan sang penjenguk ataupun si sakit.

Ada diantara manusia, orang yang jika dia menjenguk si sakit pada suatu hari, maka sakit si sakit semakin bertambah karena jengukannya. Dan ada diantara mereka juga, orang yang dicintai oleh si sakit, dan si sakit tidak ingin berpisah dengan penjenguknya tersebut.

Maka bagi orang yang tidak diinginkan yang pertama, hendaknya dia meringankan, dan seandainya dia tidak berkunjung, maka itu lebih utama!

6. Hendaknya penjenguk tidak berlama-lama duduk hingga meletihkan si sakit, atau memberatkan keluarganya. Dan jika hal itu diperlukan karena darurat, maka tidak masalah.

7. Hendaknya penjenguk tidak memperbanyak bertanya kepada si sakit, dikarenakan hal itu akan memberatkannya, dan meletihkannya.

8. Diantara adab menjenguk orang sakit adalah si penjenguk berdo’a untuk si sakit dengan do’a kesehatan dan kebaikan. Dan telah diriwayatkan beberapa do’a dalam hal tersebut; diantaranya adalah,

أَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ (سبع مرات)

“Aku memohon kepada Allah, Tuhannya ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu.” (tujuh kali)
Dan hendaknya dia membacakan Al-Fatihah, al-Mu’awwidzatain, dan al-Ikhlash di sisinya dan meruqyah dia dengan yang demikian.

9. Hendaknya penjenguk tidak berbicara di depan si sakit dengan perkara yang mencemaskan, dan mengagetkannya, dan hendaknya dia menampakkan kelemah lembutan kepada si sakit, yang dengannya bisa menghibur perasaan si sakit.

10. Hendaknya si penjenguk melapangkan pengharapan bagi si sakit, memberinya nasihat untuk bersabar, karena dalam kesabaran terdapat pahala yang berlimpah, dan memberikan peringatan kepadanya dari keputus asaan dan kecemasan, kareda dosa yang ada pada keduanya.

11. Hendaknya para penjenguk tidak memperbanyak kegaduhan dan perselisihan dengan hadirnya si sakit, karena hal itu akan menggelisahkannya.

Diantara hadits-hadits yang di dalamnya Nabi menganjurkan untuk menjenguk orang sakit adalah, Hadits Qudsi riwayat Imam Muslim, Nabi bersabda,

«إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي، قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ؟ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ، قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ؟

“Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat, ‘Wahai anak Adam, Aku telah sakit, dan Engkau tidak menjenguk-Ku.’ Maka dia menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana aku menjenguk-Mu, sementara Engkau adalah Tuhannya alam semesta?!’ Dia berfirman, ‘Tidakkah Engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, lalu Engkau tidak menjenguknya? Tidakkah Engkau tahu, bahwa Engkau, seandainya Engkau menjenguknya, maka pastilah Engkau akan mendapati-Ku ada di sisinya?”

Di dalam Shahih Muslim dari Tsauban maula Rasulillah , dari Rasulullah , beliau bersabda,

«مَنْ عَادَ مَرِيضًا لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ»، قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: «جَنَاهَا»

“Barangsiapa menjenguk orang sakit, maka tiada hentinya dia berada di dalam hurfahnya sorga.” Lalu dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah hurfahnya sorga itu?’ Maka beliau bersabda, ‘Kebun (yang dipenuhi oleh buah-buahan) sorga.”

Al-Janaa, adalah sebuah penamaan bagi buah yang dipetik dan dikumpulkan. Maka Rasulullah menyerupakan apa yang dipelihara oleh orang yang menjenguk orang sakit berupa pahala dengan buah-buahan yang dipelihara oleh orang yang memetiknya.

Pada riwayat Muslim dari Abu Hurairah I, dia berkata, ‘Rasulullah bersabda,

«مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ صَائِمًا؟» قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: «فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ جَنَازَةً؟» قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: «فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مِسْكِينًا؟» قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: «فَمَنْ عَادَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مَرِيضًا؟» قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ»

“Siapa diantara kalian pada hari ini sedang berpuasa?’ Maka Abu Bakar I berkata, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Siapa diantara kalian hari ini telah mengikuti jenazah (ke kuburan)?’ Abu Bakar I berkata, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Siapa diantara kalian hari ini telah memberi maka seorang miskin?’ Abu Bakar berkata, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Siapa diantara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?’ Abu Bakar I berkata, ‘Saya.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah berkumpul (ketiga perkara tersebut) pada seseorang melainkan dia akan masuk sorga.”

Pada riwayat at-Tirmidzi dari ‘Aliy I, dia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda,

«مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُودُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ عَشِيَّةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيفٌ فِي الجَنَّةِ»

“Tidak ada diantara seorang muslim yang menjenguk seorang muslim (yang sakit) di pagi hari melainkan akan bershalawat kepadanya tujuh puluh ribu malaikat hingga sore hari. Dan jika dia menjenguknya di sore hari, melainkan akan bershalawat kepadanya tujuh puluh ribu malaikat hingga subuh. Dan ada untuknya buah-buahan (siap petik) di sorga.”

Ghadwah adalah waktu yang ada diantara shalat subuh hingga terbitnya matahari, dan ‘asyiah adalah akhir siang.
Al-Khariif adalah buah-buahan yang dipetik.

Pada riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah I, dia berkata, ‘Rasulullah bersabda,

«مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ زَارَ أَخًا لَهُ فِي اللَّهِ نَادَاهُ مُنَادٍ أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الجَنَّةِ مَنْزِلًا»

“Barangsiapa menjenguk orang sakit, atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka menyerulah seorang penyeru, ‘Bagus, bagus perjalananmu, dan bersiaplah menempati tempat dudukmu di sorga.”

Thibta, sebuah do’a baginya agar Allah menjadikan baik kehidupannya di dunia.
Thaaba mamsyaaka, sebuah kiasan dari penitian jalan akhirat (agar baik kehidupannya di akhirat).

Di dalam al-Musnad dari Haaruun bin Abi Dawud, dia berkata, ‘Aku mendatangi Anas bin Malik, lalu kukatakan, ‘Wahai Abu Hamzah, sesungguhnya tempatnya jauh, sementara kami senang sekali menjenguk Anda.’ Maka Anas mengangkat kepalanya seraya berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,

«أَيُّمَا رَجُلٍ يَعُودُ مَرِيضًا، فَإِنَّمَا يَخُوضُ فِي الرَّحْمَةِ، فَإِذَا قَعَدَ عِنْدَ الْمَرِيضِ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ». قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا لِلصَّحِيحِ الَّذِي يَعُودُ الْمَرِيضَ، فَالْمَرِيضُ مَا لَهُ؟ قَالَ: «تُحَطُّ عَنْهُ ذُنُوبُهُ»

“Laki-laki mana saja yang menjenguk orang sakit, maka sesungguhnya dia tengah menyelam di dalam rahmat (Allah), jika dia duduk di sisi orang sakit, maka Allah akan melimpahinya rahmat.” Dia berkata, ‘Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini untuk yang sehat yang sedang menjenguk yang sakit, lalu bagi si sakit apa?’ Maka beliau bersabda, ‘Akan dihapuskan darinya dosa-dosanya.”

Perkara kedua, mengikuti jenazah.
Jumhur fuqaha` berpendapat bahwa mengiringi jenazah adalah sunnah. Berdasarkan hadits al-Barra` bin ‘Aazib I,

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ

“Rasulullah telah memerintah kita untuk mengikuti jenazah.”

Dan perintah disini adalah untuk anjuran (sunnah) bukan untuk kewajiban berdasarkan ijma’.

Berkata az-Zain bin al-Muniir dari kalangan Malikiyah, ‘Sesungguhnya mengikuti jenazah termasuk wajib kifayah.”
Dan termasuk perkara yang dilarang oleh Nabi di sini adalah apa yang diriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar L, dia berkata,

«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُتْبَعَ جِنَازَةٌ مَعَهَا رَانَّةٌ»

“Rasulullah telah melarang jenazah diikuti bersamaan dengan suara ratapan (wanita yang meratap).” (HR. Ibnu Majah)

Yaitu seorang wanita yang berbuat niyahah, meratap dengan teriakan keras.

Dari ‘Amar bin al-‘Ash I bahwa dia berkata di dalam wasiatnya,

فَإِذَا أَنَا مُتُّ فَلَا تَصْحَبْنِي نَائِحَةٌ، وَلَا نَارٌ

“Jika aku mati, maka janganlah ada seorang wanita meratap yang menyertai aku, tidak juga api.” (HR. Muslim)
Termasuk hukum-hukum penting dalam mengikuti jenazah adalah bahwa tidak termasuk sunnah sama sekali mengangkat suara pada saat mengiringi jenazah dengan berdzikir dan semisalnya.

Adalah dulu para sahabat Nabi membenci terangkatnya suara di sisi jenazah.
Dan haruslah cepat-cepat dalam mengantarkannya, dikarenakan Nabi telah bersabda,

«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ تَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ، فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»

“Bercepat-cepatlah kalian di dalam mengurusi jenazah, jika jenazah itu adalah jenazah orang shalih, maka kebaikan kalian segerakan baginya, dan jika dia tidak demikian, maka keburukan kalian letakkan dari pundak-pundak kalian.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Dan boleh berjalan di hadapan maupun di belakang jenazah, samping kanan maupun samping kirinya. Dan hendaknya mendekat darinya, kecuali yang mengendarai kendaraan, hendaknya di belakangnya. Berdasarkan sabda beliau ,

«الرَّاكِبُ يَسِيرُ خَلْفَ الْجَنَازَةِ، وَالْمَاشِي يَمْشِي خَلْفَهَا، وَأَمَامَهَا، وَعَنْ يَمِينِهَا، وَعَنْ يَسَارِهَا قَرِيبًا مِنْهَا، »

“Orang yang mengendarai kendaraan berjalan di belakang jenazah, yang berjalan, berjalan di belakangnya, depannya, samping kanan dan kirinya, mendekat kepadanya….” (HR. Abu Dawud)
keutamaan mengiringi jenazah, maka telah diriwayatkan beberapa hadits, diantaranya adalah, Hadits Abu Bakar yang terdahulu dalam pembahasan menjenguk orang sakit.

Diantaranya adalah apa yang telah shahih di dalam as-Shahiihain dari Abu Hurairah I, dia berkata, ‘Rasulullah bersabda,

«مَنْ شَهِدَ الجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ»، قِيلَ: وَمَا القِيرَاطَانِ؟ قَالَ: «مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ»

“Barangsiapa menyaksikan jenazah hingga dia menshalati(nya), maka baginya pahala sebesar satu qirath. Dan barangsiapa menyaksikan jenazah hingga di dikuburkan, maka ada dua qirath pahala baginya.’ Lalu dikatakan, ‘Apa itu dua qirath?’ Maka beliau bersabda, ‘Seperti dua gunung yang besar.”

Dan dalam riwayat Muslim,

«أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ»

“Yang terkecil diantara keduanya seperti gunung Uhud.”

Perkara ketiga, mentasymit (mengucapkan yarhamukallah) orang yang bersin jika dia bertahmid (mengucapkan Alhamdulillah) memuji Allah .

Dengan mengucapkan yarhamukallah (mudah-mudahan Allah merahmatimu), jika yang bersin tidak bertahmid, maka dia tidak di tasymit.

Di dalam hadits lain,

«وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ»

“Dan jika dia bersin, lalu memuji Allah, maka tasymitlah ia.”

Yang demikian itu dikarenakan bahwa bersin adalah satu nikmat dari Allah, karena keluarnya angin yang menyumbat di tubuh badan manusia. Dan sungguh Allah telah memudahkan baginya sebuah saluran yang angin tersebut keluar darinya, hingga orang yang bersin bisa nyaman. Maka disyariatkanlah baginya untuk memuji Allah atas nikmat ini. Dan disyariatkan bagi saudaranya untuk mengucapkan yarhamukallah, dan yang bersin diperintahkan untuk menjawabnya dengan mengucapkan yahdikumullaah wa yushlihu baalakum (mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepadamu, dan memperbagusi pikiran (urusan)mu). Dan barangsiapa tidak bertahmid, maka dia tidak berhak ditasymit.

Ada dua orang laki-laki bersin di sisi Nabi , maka Nabi mentasymit salah satu dari keduanya dan tidak mentasymit yang lain. Maka dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, dua orang laki-laki bersin di sisi Anda, lalu Anda mentasymit salah satu dari keduanya, dan Anda tidak mentasymit yang lain! Maka beliau bersabda,

«إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ، وَإِنَّ هَذَا لَمْ يَحْمَدِ اللَّهَ»

“Sesungguhnya orang ini memuji Allah, dan sesungguhnya orang yang ini tidak memuji Allah.” (HR. al-Bukhari, Musli, dan Abu Dawud)

(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid I, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *