Fiqih Imamah (14) : Adab Imam Dalam Shalat – 2

@Fiqih Imamah (14)1

Adab Imam Dalam Shalat (2)

Pada pembahasan yang lalu kita telah menyampaikan satu poin berkenaan dengan Adab Imam Dalam Shalat yaitu; Meringankan Shalat dengan disertai kesempurnaannya. Sekarang kita lanjutkan dengan poin berikutnya:

2. Lebih memanjangkan rakaat yang pertama daripada yang kedua.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudriy , dia berkata:

«لَقَدْ كَانَتْ صَلاَةُ الظُّهْرِ تُقَامُ فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقْضِى حَاجَتَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْتِى وَرَسُولُ اللَّهِ فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى مِمَّا يُطَوِّلُهَا»

Sungguh, shalat dzuhur telah didirikan, lalu pergilah orang yang pergi menuju Baqi’ lalu dia menunaikan hajatnya, kemudian dia berwudhu’ lalu dia datang (ke masjid, sementara) Rasulullah berada pada rakaat pertama karena beliau memanjangkannya.” (HR. Muslim (454))

Kecuali jika perbedaan panjang dua surat itu berdekataan, maka tidak mengapa membaca yang lebih pendek di rakaat yang pertama dan yang lebih panjang di rakaat yang kedua seperti membaca al-A’la (87) pada rakaat pertama dan al-Ghasyiyah pada rakaat kedua, berdasarkan hadits Nu’man bin Basyir , dia berkata: “Adalah Rasulullah , dalam shalat dua hari raya dan jum’at membaca Sabbihismarobbikal A’la dan Hal ataka haditsul Ghasyiyah…” (HR. Muslim (2065))

3. Memanjangkan dua rakaat pertama, dan memendekkan dua rakaat yang lain pada setiap shalat.

Berdasarkan hadits Jabir bin Samurah , yang di dalamnya Sa’d berkata kepada Umar bin al-Khaththab:

أَمَّا أَنَا فَأَمُدُّ فِى الأُولَيَيْنِ وَأَحْذِفُ فِى الأُخْرَيَيْنِ وَمَا آلُو مَا اقْتَدَيْتُ بِهِ مِنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ

Adapun aku, maka aku memanjangkan (bacaan) pada dua rakaat pertama, dan kuringangkan pada dua rakaat kedua, dan aku tidak teledor terhadap apa yang aku mencontoh dari shalat Rasulullah .” (HR. al-Bukhari (770), Muslim (453))

4. Memperhatikan kemashlahatan makmum dengan syarat tidak menyelisihi sunnah.

Di dalam hadits Jabir , diceritakan bahwa Nabi memperhatikan kemashlahatan manusia, beliau mengakhirkan shalat isya’ jika para sahabat beliau belum berkumpul, Jabir berkata:

وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا ، إِذَا رَآهُمُ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَؤُوْا أَخَّرَ

“… dan Isya’, maka kadang-kadang dan kadang-kadang, jika beliau melihat mereka telah berkumpul, maka beliau mensegerakan (shalat isya’) dan jika beliau melihat mereka terlambat, maka beliau mengakhirkan (shalat Isya’)…” (HR. al-Bukhari (560), Muslim (646))

Shalat Isya’ adalah shalat yang disunnahkan untuk diakhirkan, akan tetapi Nabi memperhatikan keadaan mereka, dan tidak ingin memberatkan mereka, hingga beliau mengawalkan pelaksanaannya jika mereka telah berkumpul. Adapun shalat-shalat lain, maka Nabi melaksanakannya di awal waktunya selain shalat zhuhur pada waktu yang sangat panas. (Syarhul Mumti’ (IV/276-277)

Diantara bentuk perhatian Rasulullah terhadap makmum adalah ringkasnya shalat beliau tatkala mendengar tangis seorang bayi, seperti telah disebutkan pada edisi yang lalu.

5. Tidak shalat sunnah di tempat dia menjadi Imam shalat fardhu.

Berdasarkan riwayat dari al-Mughirah bin Syu’bah :

« لاَ يُصَلِّى الإِمَامُ فِى الْمَوْضِعِ الَّذِى صَلَّى فِيهِ حَتَّى يَتَحَوَّلَ »

Tidaklah seorang imam itu shalat di tempat yang dia telah shalat (fardhu) didalamnya hingga dia berpindah.” (Shahih, HR. Abu Dawud (616), Ibnu Majah (1428), al-Misykah (I/300))

Juga terdapat atsar dari para sahabat berkenaan dengan hal ini, diantaranya adalah sahabat Ali , beliau berkata,

إِذَا سَلّمَ الإِمَامُ لَمْ يَتَطَوَّعْ حَتَّى يَتَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ أَوْ يُفَصِّلَ بَيْنَهُمَا بِكَلاَمٍ

Jika Imam telah salam, maka dia tidak boleh melakukan shalat sunnah hingga dia berpindah dari tempatnya atau memisahkan diantara keduanya (shalat fardhu dan sunnah) dengan ucapan.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (II/209))

Adapun makmum, maka boleh bagi dia untuk shalat di tempatnya, tanpa berpindah, berdasarkan riwayat Ibnu Umar :

أَنَّهُ كَرِهَ إِذَا صَلىَّ الإِمَامُ أَنْ يَتَطَوَّعَ فِيْ مَكَانِهِ وَلَمْ يَرَ بِهِ لِغَيْرِ الإِمَامِ بَأساً

Bahwasannya dia membenci jika imam selesai shalat (fardhu, lalu) dia shalat sunnah di tempatnya, dan dia tidak menganggap masalah dengannya bagi selain Imam.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (II/209))

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Nafi’, dia berkata, “Adalah Ibnu Umar shalat di tempat dia telah shalat fardhu di dalamnya, dan al-Qasim (bin Muhammad bin Abi Bakar) pun melakukannya. Disebutkan dari Abi Hurairah dan dia merafa’kannya (kepada Rasulullah ), ‘Tidaklah Imam itu shalat sunnah di tempat (shalat fardhu)nya, dan ini tidak shahih.” (al-Bukhari (sebelum hadits 848))

6. Berdiam sebentar di tempatnya setelah salam.

Berdasarkan hadits Ummu Salamah , dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِى تَسْلِيمَهُ ، وَمَكَثَ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ .

Adalah Rasulullah jika beliau telah salam, maka kaum wanita berdiri setelah beliau menyelesaikan salam beliau, lalu beliau berdiam sebentar sebelum beliau berdiri.” Dalam redaksi lain:

كَانَ يُسَلِّمُ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ ، فَيَدْخُلْنَ بُيُوتَهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَنْصَرِفَ رَسُولُ اللَّهِ

Adalah Rasulullah salam, kemudian kaum wanitapun beranjak pergi, lalu mereka masuk kedalam rumah-rumah mereka sebelum Rasulullah berpaling pergi.” (HR. al-Bukhari (837, 849, 850))

7. Menghadap ke arah makmum dengan wajahnya setelah salam.

Berdasarkan hadits Samurah bin Jundub , dia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ إِذَا صَلَّى صَلاَةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

Adalah Nabi , jika beliau (selesai) shalat satu shalat, maka beliau menghadap kepada kami dengan wajah beliau.” (HR. al-Bukhari (845))

8. Tidak mengkhususkan do’a yang diamini2 oleh makmum untuk dirinya sendiri.

Berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah , didalamnya disebutkan:

« وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَؤُمَّ قَوْمًا إِلاَّ بِإِذْنِهِمْ وَلاَ يَخْتَصَّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُونَهُمْ فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ »

Dan tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengimami suatu kaum tanpa idzin mereka, dan tidak (halal) bagi dia mengkhususkan do’a untuk dirinya sendiri dengan satu do’a bukan untuk mereka, jika dia melakukannya, sungguh dia telah mengkhianati mereka.” (Shahih, HR. Abu Dawud (91), at-Turmudzi (357), Ahmad (II/250), Shahih Abu Dawud (I/35))

9. Tidak memanjangkan duduk menghadap kiblat setelah salam.

Berdasarkan hadits ‘Aisyah , dia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلاَّ مِقْدَارَ مَا يَقُولُ « اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ »

Adalah Nabi , jika beliau salam, maka beliau tidak duduk (menghadap kiblat) kecuali seukuran beliau membaca allahumma antas salam, waminkas salam tabarakata dzal jalali wal ikram.” (HR. Muslim (591))

Kemudian beliau menghadap makmum dengan wajah beliau sebagaimana hadits Samurah diatas.

10. Berpaling kepada manusia setelah salam kadang dari kanan dan kadang dari kiri.

Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud , dia berkata,

لاَ يَجْعَلْ أَحَدُكُمْ لِلشَّيْطَانِ شَيْئًا مِنْ صَلاَتِهِ ، يَرَى أَنَّ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ لاَ يَنْصَرِفَ إِلاَّ عَنْ يَمِينِهِ ، لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِىَّ كَثِيرًا يَنْصَرِفُ عَنْ يَسَارِهِ

Janganlah salah seorang diantara kalian menjadikan sesuatu dari bagian shalatnya untuk setan, dia beranggapan bahwa berhak atas dia untuk tidak berpaling kecuali dari arah kanan, sungguh aku telah melihat Nabi banyak berpaling dari arah kiri beliau.” Dan dalam redaksi Muslim:

أَكْثَرُ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَنْصَرِفُ عَنْ شِمَالِهِ

Aku paling banyak melihat Rasulullah berpaling dari arah kiri beliau.” (HR. al-Bukhari (852), Muslim (707))

Sedang Anas bin Malik berkata,

أَمَّا أَنَا فَأَكْثَرُ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ

Adapun aku, maka aku paling banyak melihat Rasulullah berpaling dari arah kanan beliau.’ Dalam redaksi lain:

أَنَّ النَّبِىَّ كَانَ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ

Bahwa Nabi , biasa berpaling dari arah kanan beliau.” (HR. Muslim (708))

11. Menggunakan sutrah (pembatas), karena sutrah imam adalah sutrah orang yang di belakangnya.

Berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudriy ,

« إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا »

Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya dia shalat mengahadap ke arah sutrah dan mendekat darinya.” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud (698), Shahih Sunan Abu Dawud (I/135))

Juga berdasarkan perbuatan Ibnu ‘Abbas yang berjalan dengan keledainya di hadapan sebagian shaf pertama, kemudian dia turun darinya, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya, maka hal itu menunjukkan bahwa sutrah imam adalah sutrah bagi orang yang di belakangnya.

Pada edisi berikutnya akan kita lanjutkan dengan Adab Makmum Dalam Shalat, Insyaallah (AR).

1 Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhauil kitabi was-sunnah.

2 Seperti dalam qunut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *