Bernadzar Untuk Selain Allah

Telah keluar di zaman kita ini sebagian wanita hadaahunnallaahu (mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka), mereka bernadzar, akan tetapi untuk selain Allah. Lantas salah satu dari mereka berkata, ‘Selusin lilin untuk Ummu Hasyim’ atau dia berkata, ‘Seandainya terjadi demikian, atau Allah mengobati kesepianku, atau si Fulan telah datang dari perjalanan, maka aku akan meletakkan uang di kotak nadzar milik Syaikh Fulan.”

Imam as-Suyuthi rahimahullah berkata, “Ini adalah nadzar maksiat berdasarkan kesepakatan para ulama, tidak boleh memenuhinya, bahwa wajib atasnya untuk membayar kaffarah sumpah, menurut mayoritas para ulama, diantara mereka adalah Ahmad dan selainnya.”([1])

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, sebagaimana disebutkan di dalam Majmuu’ al-Fataawa (24/319), ‘Dan oleh karenanya, tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, untuk bernadzar kepada tempat-tempat keramat yang ada diatas kuburan; tidak berupa minyak, lilin, dirham dan selaiinnya, tidak juga untuk orang-orang yang menziarahinya, serta para pengurus kuburan. Dan barangsiapa bernadzar kepada yang demikian, maka dia telah bernadzar maksiat.”

Al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Kitab al-Aimaan wa an-Nudzuur, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ»

Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah, maka hendaknya dia mentaati-Nya, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah bermaksiat kepada-Nya.”([2])

Dan di dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah, maka hendaknya dia mentaati-Nya’, maksudnya adalah hendaknya ia melaksanakan nadzar ketaatannya kepada Allah tersebut.

Sungguh, para ulama telah bersepakat bahwa orang yang bernadzar taat untuk sesuatu yang dia harapkan, seperti ‘Jika Allah menyembuhkan penyakitku, maka aku wajib bershadaqah dengan demikian, dan semacamnya’ maka wajib baginya (menunai nadzar tersebut) jika teraih apa yang dia ikatkan dengan nadzarnya tersebut.

Sungguh, Allah telah memuji al-Abraar, yang diantara sifat mereka adalah,

يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا ٧

Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.(QS. al-Insaan (76): 7)

Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوۡ نَذَرۡتُم مِّن نَّذۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُهُۥۗ

Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan([3]), maka sesungguhnya Allah mengetahuinya…(QS. al-Baqarah (2): 70)

As-Syaikh Qasim al-Hanaify, di dalam Syarah Durari al-Bihaar berkata, ‘Nadzar yang mayoritas orang-orang awam bernadzar dengannya, yang biasa dilihat, seperti seseorang memiliki (kerabat) yang hilang (pergi), atau sakit, atau dia memiliki hajat tertentu, lalu dia datang kepada sebagian ‘ulama, atau wali, lantas berkata, ‘Wahai tuanku Fulan, jika Allah mengembalikan kepadaku kerabatku yang hilang, penyakitku disembuhkan, atau hajatku telah terpenuhi, maka Anda akan mendapatkan emas atau perak demikian dan demikian, atau makanan yang demikian’, maka nadzar ini adalah nadzar bathil berdasarkan kesepakatan; karena beberapa alasan, diantaranya:

Ia adalah nadzar untuk makhluq, sementara nadzar untuk makhluk adalah tidak diperbolehkan. Demikian juga karena peribadatan para hamba tidak boleh untuk makhluk. Dan jika dia mengira bahwa si mayit memiliki peran terhadap beberapa perkara secara sendirian tanpa Allah, dan dia meyakininya, maka dia telah kafir.”

Penulis Subulussalaam berkata, ‘Dan adapun nadzar-nadzar yang dikenal di zaman ini, yang di lakukan diatas kuburan-kuburan, tempat-tempat keramat, dan orang-orang yang telah meninggal, maka tidak ada komentar terhadap pengharamannya. Dikarenakan orang yang bernadzar berkeyakinan pada pemilik kubur, bahwa dia bisa memberikan manfaat dan madharat, bisa mendatangkan kebaikan, serta menolak keburukan, memberikan kesembuhan kepada yang menderita dan sakit, inilah yang biasa dilakukan oleh para penyembah berhala.”

(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)


([1]) Al-Amru bi al-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘An al-Ibtidaa’, Imam as-Suyuthi, hal 106, cet. Ar-Rasyiid.-pent

([2]) HR. al-Bukhari (6696, 6700)

([3]) Nazar Yaitu janji untuk melakukan sesuatu kebaktian terhadap Allah subhaanahuu wa ta’aalaa untuk mendekatkan diri kepada-Nya baik dengan syarat ataupun tidak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *